Mengenai Saya

Foto saya
sumenep, sumenep jawa timur, Indonesia
enjoy, sopan dan siap bersaing

Jumat, 08 Oktober 2010

TEORI AKTUALISASI DIRI ABRAHAM HAROLD MASLOW

Riwayat Hidup Abraham Harold Maslow
Abraham Harold Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York pada tanggal 1April 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi tidak berpendidikan dari Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong dengan kuat agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal ini menjadikan Maslow kesepian dan menderita di masa kanak-kanak dan remaja. Tentang perlakuan orang tua berikut akibatnya itu Maslow menulis : “Jika mengingat masa kanak-kanak saya, cukup mengherankan bahwa saya tidak menjadi psikotik karenanya. Saya adalah satu-satunya anak laki-laki Yahudi di sebuah perkampungan non Yahudi di pinggiran kota Brooklyn. Di sekolah saya diperlakukan sama dengan perlakuan yang diterima oleh anak-anak Negro,terisolasi dan tidak bahagia. Pendek kata, saya tumbuh di perpustakaan di antara buku-buku, tanpa teman. ” Diduga bahwa hasrat Maslow untuk menolong orang lain agar bisa hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) berasal dari hasratnya untuk memperoleh kehidupan yang kaya yang tidak ia peroleh di masa mudanya. Namun rupanya tidak seluruh tahun-tahun pertama kehidupannya dihabiskannya untuk menyendiri belajar, sebab ternyata ia memiliki juga pengalaman di dunia praktis.(Tak dapat disangsikan lagi, pengalaman ini menjadi sebagian sumber bagi saran-saran praktisnya sesudah Maslow tumbuh matang). Ia mulai bekerja pada usia dini pada permulaan sebagai pengantar koran. Banyak liburan musim panasnya dihabiskannya untuk bekerja pada perusahaan milik keluarga, yang kebetulan masih dikelola oleh saudara-saudaranya hingga sekarang. Usaha itu kini berupa perusahaan pembuat drum yang besar dan sukses, yakni Universal Containers,Inc. Setelah remaja, demi menuruti keinginan orang tuanya, pertama-tama Maslow belajar hukum di City College of New York (CCNY). Tetapi baru dua minggu kuliah Maslow pindah ke Universitas Cornell dan tak lama kemudian ke Universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai pilihannya. Di Universitas Wisconsin ini Maslow meraih sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh tahun 1931 dan meraih doktor pada tahun 1934. Pada waktu masih kuliah di Universitas Wisconsin inilah tepatnya pada usia dua puluh tahun Maslow menikah dengan Bertha Goodman yang berusia sembilan belas tahun,pacarnya sejak masih di sekolah menengah.
read more........
Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik dan dengan mengikuti program-program yang diadakan Watson, Maslow berharap dirinya bisa mengubah dunia. Maslow kemudian menyusun disertasi doktor di bawah bimbingan Harry F. Harlow yang menulis tentang ciri-ciri seksual serta sifat-sifat kuasa pada kera, namun dari sini adalah merupakan awal dari ketertarikannya kepada masalah seksualitas dan afeksi.
Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin (1930-1934) dan sebagai staf pengajar (1934-1935) kemudian Maslow menjadi staf peneliti di Universitas Columbia sampai tahun 1937. Semasa di Universitas Columbia ini Maslow bekerja sebagai asisten Edward L.Thorndike, salah seorang tokoh behaviorisme. Setelah itu Maslow menjadi guru besar pembantu di Brooklyn College of New York sampai tahun 1951.Maslow menyebut kota New York, pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an, ketika ia mengajar di sana, sebagai pusat psikologi. Di kota ini ia bertemu dengan Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict dan Max Wetheimer. Dari percakapan dan pertukaran pengalaman dengan tokoh-tokoh inilah memegang peranan penting dalam pembentukan landasan pemikiran humanistik Maslow. Selain itu, kehadiran anaknya yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap behaviorisme. Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukkan anaknya membuat Maslow berpikir bahwa behaviorisme lebih cocok untuk memahami tikus daripada memahami manusia.
Tanggal 7 Desember 1941 telah mengubah arah kehidupan Maslow, sebagaimana juga terjadi pada jutaan orang lain di seluruh dunia. Ketika beberapa hari setelah serangan Jepang atas Pearl Harbour, Abraham Maslow sedang mengendarai mobil pulang ke rumah dari tugas mengajarnya di Brooklyn College, pada saat mobilnya dihentikan oleh suatu parade. Suatu parade rakyat gembel yang menyedihkan terdiri dari bermacam- macam anak pandu laki-laki dan orang-orang yang lebih tua yang memakai seragam yang sudah kuno. Bendera Amerika berkibar pada ujung barisan itu dan suling yang bersuara sumbang dengan gagah berani melagukan lagu-lagu patriotik. Bertentangan dengan suasana zaman yang dilanda peperangan, pada hari-hari pertama pecahnya Perang Dunia II itu Maslow justru sampai pada keputusan untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk menemukan sebuah teori yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia yang akan bermanfaat bagi kepentingan dunia, sebuah “psikologi bagi kehidupan yang damai”, berlandaskan fakta-fakta nyata yang dapat diterima oleh segenap bangsa manusia. Mulailah ia membuat sintesis atas semua sudut pandangan yang pernah dipelajarinya. Maslow berkata “saya ingin membuktikan bahwa manusia mampu melakukan sesuatu yang lebih mulia daripada perang, purbasangka dan kebencian. Saya ingin menjadikan ilmu sesuatu yang juga meliputi segala persoalan yang selama ini digeluti oleh orang-orang bukan ilmuwan, yaitu agama, puisi, nilai-nilai, filsafat dan seni.”
Pada tahun 1951 Maslow menerima jabatan kepala departemen psikologi Universitas Brandeis selama 10 tahun sampai tahun 1961. Di sinilah dia bertemu dengan Kurt Goldstein (yang memperkenalkan ide aktualisasi diri kepadanya) dan mulai menulis karya-karya teoretisnya sendiri. Di sini, dia juga mulai mengembangkan konsep psikologi humanistik, konsep yang baginya jauh lebih penting ketimbang usaha-usaha teoretisnya. Selama periode ini pula Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di Amerika Serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menlo Park, California. Jabatan non akademis ini mendorong Maslow untuk secara bebas mencurahkan minatnya kepada masalah-masalah filsafat politik dan etika.
Maslow menggabungkan diri dengan sejumlah perhimpunan profesional. Ia menjadi anggota dewan psikologi bagi masalah-masalah sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi Negara Bagian Massachusetts, sebagai kepala divisi kepribadian dan psikologi sosial pad perhimpunan psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika dan akhirnya memegang jabatan Presiden Perhimpunan Psikologi Amerika dari tahun 1967-1968. Di samping jabatan-jabatan tersebut Maslow juga menjadi editor pada beberapa jurnal psikologi, antara lain jurnal psikologi humanistik dan jurnal psikologi transpersonal, serta menjadi editor ahli pada beberapa penerbitan berkala. Maslow terutama tertarik kepada psikologi pertumbuhan (growth psychology), dan sampai akhir hayatnya ia mendukung Essalen Institute di California dan kelompok-kelompok lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia (human potential movement). Tidak cukup “bermain-main” dengan humanisme, menjelang akhir hayatnya Maslow mengenalkan lagi satu aliran yang dikenal sebagai mazhab keempat, yakni psikologi Transpersonal, yang berbasis pada filosofi dunia timur dan mempelajari hal-hal semacam meditasi, fenomena parapsikologi dan kesadaran level tinggi (Altered States of Consciousness,ASC). Maslow akhirnya meninggal karena serangan jantung pada tanggal 8 Juni 1970.
Sebagian besar buku-buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, yang meliputi buku buku Toward a Psychology of Being (1962), Religious and Peak Experiences (1964), Eupsychian Management :A Journal (1965), The Psychology of Science :A Reconnaissance (1966), Motivation and Personality (1970) dan The FatherReaches of Human Natures, sebuah buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
Teori Aktualisasi Diri Abraham Harold Maslow
Pengertian” aktualisasi diri ”( self actualization ) yang penulis bahas pada kesempatan kali ini adalah murodif dengan term “realisasi diri “ (self realization ) yang masing – masing mempunyai pengertian yang mengacu kepada pemenuhan pengembangan diri atas potensi dan kapasitas sendiri.
“Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya”. Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Lebih lanjut aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (self fulfilment), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami, dan tidak mau ditekan oleh budaya. Dalam aktualisasi diri yang optimal terkandung dua unsur penting yang terintegrasi yakni kepuasan diri dan kepuasan lingkungan oleh prestasi optimal yang diraih berkat upaya keras yang bisa membutuhkan waktu bertahun – tahun. Tentu saja, proses pencapaian aktualisasi diri baru akan teraih bila lingkungan secara kondusif memberi kesempatan bagi kebebasan individu untuk berlatih mengembangkan potensinya secara optimal yang dibantu melalui proses pendidikan.
Persepsi di atas menurut penulis, mencerminkan pemberian tempat atau wadah secara khusus untuk pengembangan potensi diri bagi individu dirasa perlu mendapat perhatian khusus oleh individu itu sendiri. Sebenarnya teori ini adalah salah satu bagian dari teori hirarki kebutuhan yang menempati posisi teratas, namun disini penulis hanya membahas teori aktualisasi dirinya Abraham Maslow yang berkenaan dengan tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun.
Konon, sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu, sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik. Seandainya itu benar-benar kejadian, maka yang paling bawah bukanlah kebutuhan fisik (fisiologis), melainkan aktualisasi-diri. Maslow menyesal karena teori yang sebenarnya dimaksud untuk memaparkan problema masyarakat saat itu, mengilhami orang-orang tertentu untuk menjadi tamak dan terus-terusan memikirkan kebutuhan fisiknya, kebutuhan ragawinya. Di sisi lain, seperti yang kerap kita dengar, teori ini juga banyak “dimanfaatkan” oleh orang-orang malas untuk menjustifikasi kemalasannya dengan alasan kebutuhan fisik.
Sebagaimana kita ketahui, Maslow mengeluarkan teori motivasi yang diasaskan pada kebutuhan manusia dalam bentuk gambar piramida (kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, aktualisasi-diri). Tak tahunya, teorinya ini bisa dibilang termasuk yang paling mashur dan telah dijadikan pedoman banyak orang. Kalau membaca buku-buku manajemen yang beredar, ada sedikitnya tiga penjelasan dari teori Maslow itu.
Pertama, setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi. Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan lain-lain terpenuhi.
Kedua, setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa melewatinya. Jika ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. .
Ketiga, Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu: tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan pemenuhan dari faktori nternal.
a. Aktualisasi potensi
Kalau berbicara tentang potensi manusia, ini mungkin referensinya sudah sangat banyak. Profesor satu berbicara ada sekian kecerdasan yang terpendam dalam diri manusia. Profesor satunya lagi berbicara ada sekian bakat yang terpendam. Profesor lain lagi berbicara ada sekian kompetensi dasar. Kitab suci berbicara betapa hebatnya manusia itu dan sekaligus berbicara betapa lemahnya manusia itu. Intinya, seperti kesimpulan Daniel Goleman, seberapa pun kecerdasan manusia itu bisa diungkap, yang sanggup diungkap itu hanya sebagian dan sekian.
Meski terkesan ada perbedaan yang cenderung sulit disepakati tentang “istilah”nya, tetapi semuanya sepakat untuk satu hal, yaitu: potensi manusia itu selamanya tidak akan berubah menjadi prestasi selama tidak diaktualisasikan. Maslow sempat bicara: “Saat ini juga Anda sudah berada di dalam posisi yang tepat untuk melakukan apapun. Di dalam diri Anda sudah terdapat kapasitas, bakat, misi, arah hidup dan panggilan yang menyadarkan.”
Untuk mengaktualisasikan potensi menjadi prestasi, memang dibutuhkan banyak hal, banyak proses, banyak waktu, banyak uang, banyak fasilitas dan sebagainya. Tapi, ini semua dibutuhkan setelah ada satu hal: munculnya motivasi dari dalam diri seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya atau meminjam istilah pribadi-pribadi yang teraktualisasikan (self actualizers) yaitu dimana orang-orang menggunakan seluruh kemampuan mereka untuk meraih potensi tersebut. Dipikir-pikir, katakanlah untuk kasus di Indonesia, ini lebih bermanfaat. Kalau kita menunda-bahkan menghentikan perjalanan meraih kebutuhan aktualisasi dengan alasan menunggu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya dalam Piramida Maslow itu, maka pertanyaannya bukan masalah benar atau salah, tapi kapan bisa tercapai. Barangkali inilah yang ikut andil atas munculnya fenomena di mana kebanyakan kita tidak pernah tahu apa potensi dan keunggulan kita, apa kompetensi dan kecerdasan dasar yang kita miliki sampai kita meninggal dunia, padahal katanya potensi yang kita miliki itu banyak sekali. Ini benar-benar paradoks.
b. Bukti Diri
Memunculkan dorongan aktualisasi diri juga kita butuhkan saat menghadapi realitas yang brutal atau bertentangan dengan keinginan. Realitas semacam itu sama artinya dengan halang rintang. Meski realitas itu tak berbicara, tetapi sebetulnya ia menawarkan tiga pilihan: a) apakah Anda akan mundur, b) apakah Anda akan diam, dan c) apakah Anda akan tetap memutuskan untuk melangkah maju dengan mencari jalan lain. Kita pilih yang manapun, sebetulnya itu pilihan kita. Tak ada orang lain yang punya ruang ikut campur di sini. Cuma, pilihan yang kita jatuhkan itu adalah bukti siapa diri kita. Jika kita memilih mundur, itulah bukti siapa diri kita. Meski kita sanggup mengungkapkan beribu dalih, tapi dunia ini akan tetap mencatat itulah bukti siapa diri kita. Itulah kita yang mundur. Sebaliknya, jika kita memilih maju dengan mencari jalan lain, itu pulalah bukti siapa diri kita. Meski tidak ada koran yang menulisnya tetapi dunia ini akan mencatatnya sebagai rapor (report) .
Kaitannya dengan bahasan kita ini adalah, jika kita menjadikan terpenuhinya kebutuhan fisik, keamanan, sosial dan lain-lain sebagai pra-syarat yang kita tetapkan untuk memulai langkah maju, dengan berlindung di balik Piramida Maslow, tentu kasihan sekali konsep itu. Piramida itu dikeluarkan untuk memotivasi manusia supaya lebih maju, tapi kini disalahgunakan untuk men-demotivasi. Hal lain yang lebih krusial adalah sikap dunia. Dunia ini tidak punya kebijakan yang berbasiskan perasaan, seperti iba atau kasihan atas dalih yang kita kemukakan. Ketika kita mengambil keputusan mundur, dunia ini membalasnya dengan kemunduran. Ketika kita mengambil keputusan diam, dunia ini membalasnya dengan stagnasi. Ketika kita mengambil keputusan maju, dunia ini membalasnya dengan progresivitas. Ini diberikan dengan tanpa memandang hierarki kebutuhan.
Jadi, kita kedepankan atau kita “simpan” masalah aktualisasi diri itu, pada akhirnya dunia ini tetap menuntut untuk diawalkan, di kedepankan, di utamakan. Suka atau tidak, siap atau tidak, memang sudah begitu garisnya. Ini kalau kita bicara minimalnya untuk dua konteks di atas.
Adapun untuk konteks lain, bisa jadi akan lebih bermanfaat kalau Piramida itu diikuti, misalnya untuk memotivasi anak buah atau karyawan. Penggoda bernama desakan "Kebutuhan". Menurut petuah klasik orang-orang bijak, jika Tuhan harus lebih banyak mengingatkan manusia tentang kehidupan dunia yang membahayakan dan kehidupan akhirat yang lebih menjanjikan, itu bukan berarti kehidupan dunia ini tidak penting. Dunia ini tetap penting, terlepas kita menganggapnya penting atau tidak.
Peringatan terhadap dunia itu dikeluarkan berkaitan dengan “the nature” manusia. Secara insting, manusia lebih tertarik dengan kehidupan dunia, target jangka pendek, dan hasil yang langsung kelihatan dan bisa dilihat orang lain, sekaligus bisa dinikmati sekarang juga. Manusia, by nature, kurang tertarik dengan kehidupan akhirat, yang nanti, yang tidak kelihatan langsung, dan yang tidak bisa dinikmati sekarang.
Jika Tuhan lebih banyak mengingatkan keutamaan intelektual, emosional dan spiritual (kualitas manusia), dan lebih banyak mengingatkan bahayanya kekayaan, perhiasan atau penampilan, itu bukan berarti semuanya itu tidak penting bagi manusia. Tapi, ini karena, secara nafsu, manusia lebih tertarik untuk mengejar kemewahan dengan harta ketimbang mengasah intelektualnya atau emosionalnya. Manusia lebih tertarik menunjukkan kekayaannya (show-off) ketimbang tertarik untuk meng-amal-kan (sebagian) kekayaannya kepada orang lain.
Jika itu semua kita jelaskan dengan bahasa manajemen, mungkin kebutuhan dunia (jangka pendek, kelihatan langsung) atau kebutuhan fisik manusia itu selalu berada pada level “urgent” dalam diri manusia. Sementara, kebutuhan yang berjangka panjang, kebutuhan yang mengarah pada terbentuknya kualitas manusia, dan semisalnya selalu ditempatkan pada level “important”. Sayangnya, seperti pesan Covey, kebanyakan manusia lebih sering merasa terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan urgent-nya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang important. Covey menyebutnya dengan istilah keracunan desakan. Sebagai contohnya misalnya, adakah orang yang merasa terdesak untuk membaca buku, beramal, mengasah potensinya, dan semisalnya? Kalau pun ada, itu jumlahnya sedikit. Tapi, jika kita bertanya adakah orang yang terdesak untuk membeli teve terbaru, handphone terbaru, atau mobil keluaran baru, tentu ini jumlahnya terlalu banyak.
Kaitannya dengan motivasi berprestasi adalah, jika kita selalu menjadikan pemenuhan kebutuhan fisik (dalam pengertian yang luas), sebagai syarat mutlak untuk berprestasi, berkarya, berkreasi atau berbuat baik bagi manusia, kerapkali ini akan dikalahkan oleh dorongan kebutuhan yang tidak ada habisnya itu. Bahkan seringkali hanya berupa tipuan. Desakan kebutuhan fisik itu seperti air laut. Semakin banyak kita minum, semakin haus kita.
Karenanya, kepentingan kita untuk membalik piramida itu bukan untuk sebagai bahan menulis puisi bahwa Maslow telah gagal. Bukan untuk itu. Maslow telah “berijtihad” dengan kemampuannya dan untuk konteks tertentu masih tetap perlu dijadikan rujukan, misalnya untuk pimpinan organisasi. Kepentingan kita untuk membaliknya itu adalah agar kita tidak terjebak dalam upaya memenuhi kebutuhan fisik dan mengabaikan kebutuhan aktualisasi dengan berlindung di balik teori Piramida. Dan lagi, kalau kita mau hitung-hitungkan sederhana, jika kita sudah mengaktualisasikan potensi yang kita miliki menjadi kumpulan prestasi yang terus bertambah dan mengaktualisasikan “siapa diri kita” dalam menghadapi realitas, maka dengan sendirinya kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang dan penghargaan akan kita dapatkan dengan mudah.
Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Maslow juga melukiskan kebutuhan ini sebagai “Hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya ”.
Mengenai pemanfaatan atau pengembangan potensi-potensi jiwa yang merupakan pangkal atau sumber-sumber yang ada dan terpendam yang harus dikembangkan serta diyakini bahwa setiap jiwa itu sebagai permata yang tak ternilai. Dalam hal ini Ghazali menuturkan : “ Siapa meyakini setiap jiwa sebagai permata tak ternilai, ia pun berhati-hati agar tidak menyia-nyiakan…… termasuk faedahnya adalah mampu mengutamakan orang lain dan mencapai keutamaan.”
Penuturan Al-Ghazali tersebut di atas merefleksikan bahwa jiwa itu permata yang tak ternilai yang perlu dijaga, demikian juga dibina atau diarahkan, dikontrol dan dikendalikan dari yang jelek menuju yang baik. Hal ini disebabkan karena perubahan jiwa yang baik tidak akan terjadi sebelum orangnya sendiri berupaya untuk merubahnya.
Termasuk di dalam perubahan jiwa ini adalah perubahan dalam berpikir dimana dalam hal ini aspek kognitif atau intelektual yang lebih dominan lalu diikuti perubahan secara rohani yang dibuktikan dengan adanya akhlakul karimah.
Selain perubahan jiwa yang telah disebutkan di atas, dalam aktualisasi diri juga mencakup aspek perubahan secara jasmani atau fisik. Artinya seorang individu yang beraktualisasi diri tidak hanya perubahan jiwa tetapi juga pemanfaatan suatu potensi diri juga diimbangi dengan adanya aspek fisik yang memadai, seperti dalam sebuah semboyan “ dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat “, sehingga nantinya pengembangan potensi diri individu bisa mencerminkan seorang manusia seutuhnya yang bisa diharapkan bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya.
Definisi pribadi yang teraktualisasikan diri memang masih kabur, namun secara bebas Maslow melukiskannya sebagai “Penggunaan dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dsb. Orang semacam itu memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya”. Kriterium negatifnya ialah tiadanya kecenderungan-kecenderungan ke arah gangguan-ganggugan psikologis, neurois atau psikosis. Pribadi yang teraktualisasikan diri merupakan contoh tepat spesies manusia , wakil kelompok yang kemudian oleh Maslow disebut “pucuk yang tumbuh mekar” (the “growing tip”).
Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu tidak hanya berupa penciptaan kreasi atau karya-karya berdasarkan bakat-bakat atau kemampuan-kemampuan khusus. Orang tua, mahasiswa, dosen, sekretaris, dan buruhpun bisa mengaktualisasikan dirinya , yakni dengan jalan membuat yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya dengan bidangnya masing-masing, misalkan seorang musisi harus menciptakan musik, seorang artis harus melukis, seorang penyiar harus bersyair, jika pada akhirnya ia ingin tenteram. Ia harus jujur terhadap sifatnya sendiri. Kebutuhan ini dapat kita sebut perwujudan diri. Istilah ini yang mula-mula diciptakan oleh Kurt Goldstein dalam buku ini dipergunakan dalam arti yang jauh lebih khusus dan terbatas. Istilah itu menunjuk pada keinginan orang akan perwujudan diri, yakni pada kecenderungannya untuk mewujudkan dirinya sesuai kemampuannya. Kecenderungan ini dapat diungkapkan sebagai keinginan untuk makin lama makin istimewa, untuk menjadi apa saja menurut kemampuannya. Bentuk pengaktualisasian diri ini berbeda pada setiap orang. Hal ini disebabkan adanya perbedaan individual. Namun dengan kata lain, beragam profesi manusia dengan latar belakang apapun bisa menuju pada taraf aktualisasi diri.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang menjadi tolok ukur akan aktualisasi diri disini adalah kemampuan daripada individu itu sendiri dalam mewujudkan apa yang menjadi ide dan hasrat serta kesadaran diri yang sebelumnya telah didahului adanya dan didasarkan pada potensi atau kemampuan yang konstruktif yang ia miliki.
Bagaimanapun Maslow bahwa untuk mencapai taraf aktualisasi diri atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri tidaklah mudah, sebab upaya ke arah itu banyak sekali hambatan-hambatannya. Hambatan yang pertama berasal dari dalam individu, yakni berupa ketidaktahuan , keraguan, dan bahkan juga rasa takut dari indivdu untuk mengungkapkan potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi itu tetap laten.
Hambatan yang kedua atas upaya aktualisasi diri itu berasal dari masyarakat. Hambatan ini selain berupa kecenderungan mendepersonalisasi individu, juga berupa perepresian sifat-sifat, bakat, atau potensi-potensi. Dalam kenyataannnya, menurut keyakinan Maslow, tidak ada satupun lingkungan masyarakat yang sepenuhnya menunjang atas upaya aktualisasi diri para warganya, meski tentunya ada beberapa masyarakat yang jauh lebih baik dan menunjang dari pada masyarakat yang lainnya.
Hambatan yang terakhir atas upaya aktualisasi diri berupa pengaruh negatif yang dihasilkan oleh kebutuhan yang kuat akan rasa aman. Oleh individu-individu yang kebutuhan akan rasa amannya terlalu kuat, pengambilan resiko, pembuatan kesalahan, dan pelepasan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak konstruktif itu justru akan merupakan hal-hal yang mengancam atau menakutkan, dan pada gilirannya ketakutan ini akan mendorong individu-individu tersebut untuk bergerak mundur menuju pemuasan kebutuhan akan rasa aman.
Oleh karena the need for self actualization itu tidak mudah diaktualisasikan dan bentuknya pun juga mengalami perbedaan pada setiap orang, maka kita harus menerima kemampuan kita itu dengan penuh lapang dada. Namun kita tetap bertumpu pada diri sendiri artinya kita tidak usah meniru-niru orang lain dan yakin pada diri sendiri. Bahkan kita bisa melakukan seperti apa orang lain lakukan dihadapan kita. Karena sebenarnya hanya kitalah yang tahu akan kemampuan kita sendiri dan kita masih memiliki kekuatan-kekuatan baru yang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa pencapaian aktualisasi diri disamping membutuhkan kondisi lingkungan yang menunjang, juga menuntut adanya kesediaan atau keterbukaan individu terhadap gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman baru.
Ciri-Ciri Aktualisasi Diri
“Aktualisasi diri” kata Maslow, hanya terdapat pada orang orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang , bukan sebagai suatu proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ada dari pada jadi. Karena orang-orang yang “teraktualisasikan dirinya” demikian ini biasanya berumur enam puluh tahun atau lebih, maka kebanyakan orang tidak termasuk dalam kategori ini; mereka ini belum statis, mereka belum sampai; mereka sedang beranjak ke arah kematangan.
Proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam. Dalam tulisan-tulisannya yang lebih mendalam Maslow mengusulkan bahwa mungkin istilahnya yang lebih jelas adalah “menjadi manusiawi secara penuh”. Tidak semua orang berbakat yang produktif dan berhasil memenuhi gambaran tentang kesehatan psikologis, kematangan atau aktualisasi diri. Mungkin ciri-ciri paling universal dan paling umum dari manusia-manusia superior ini adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup secara apa adanya bukan menurutkan keinginan mereka. Mereka tidak bersikap emosional, justru bersikap lebih obyektif terhadap hasil-hasil pengamatan mereka. Kebanyakan orang hanya mau mendengarkan apa yang mau mereka dengar dari orang lain sekalipun hanya pendengaran mereka sama sekali tidak benar atau tidak jujur, sebaliknya orang-orang yang teraktualisasikan dirinya tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan mereka. Mereka memiliki kamampuan jauh di atas rata-rata dalam menilai orang secara tepat dan dalam menyelami segala kelancungan serta kepalsuan. Umumnya, pilihan pasangan mereka dalam perkawinan jauh lebih baik dari pada rata-rata ,sekalipun tidak sempurna.
Meski demikian mereka memiliki sifat rendah hati, mampu mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran, mau mengakui bahwa mereka tidak tahu segala-galanya, dan bahwa orang lain mampu mengajari mereka sesuatu. Persepsi yang ampuh ini sebagian lahir dari dan dalam pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Konsep ini juga dilukiskan sebagai sifat lugu pada anak-anak serta tiadanya kecongkakan.
Maslow menemukan bahwa tanpa kecuali orang – orang yang mengakutalisasikan diri membaktikan hidupnya pada pekerjaan, tugas, kewajiban, atau pannggilan tertentu yang mereka pandang penting. Karena berminat pada pekerjaannya itu, mereka bekerja keras, namun perbedaan yang lazim antara bekerja dan bermain menjadi kabur. Bagi mereka bekerja memberi kegembiraan dan kenikmatan. Rupanya rasa bertanggung jawab atas suatu tugas yang penting merupakan syarat utama bagi pertumbuhan, aktualisasi diri serta kebahagiaan.orang yang mengaktualisasikan diri juga melakukan pekerjaannya dengan baik.
Maslow juga menemukan kreativitas sebagai ciri universal pada semua orang yang mengaktualisasikan diri yang diselidikinya. Sifat kreatif nyaris memiliki arti sama dengan kesehatan, aktualisasi diri dan sifat manusiawi yang penuh. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan kreativitas ini adalah fleksibilitas, spontanitas, keberanian, berani membuat salah, keterbukaan dan kerendahan hati. Maslow percaya, ini merupakan sifat yang sering kali hilang ketika orang telah dewasa. Orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak kehilangan pendekatan yang segar dan naif ini, atau jika toh kehilangan , mereka akan mendapatkannya di kemudian hari.
Salah satu ciri orang yang teraktualisasikan dirinya ialah kadar konflik dirinya yang rendah. Ia tidak berperang melawan dirinya sendiri; pribadinya menyatu. Berarti ia memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif. Maslow beranggapan bahwa orang yang sehat menemukan kebahagiaan dalam membantu orang lain. Maka baginya sikap tidak mementingkan dirinya itu mengandung sifat mementingkan diri juga. Orang yang sehat bersikap mementingkan diri dengan cara yang sehat, cara yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat juga. Jadi secara umum orang yang mencapai aktualisasi diri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Orientasinya realistik, memandang realitas secara efisien.
2. Menerima diri, orang lain dan alam sekitar apa adanya.
3. Spontan, sederhana, alami.
4. Lebih memperhatikan masalah alih-alih memperhatikan diri sendiri.
5. Berpendirian kuat dan membutuhkan privacy.
6. Otonom dan bebas dari kultur lingkungan.
7. Memahami orang dan sesuatu secara segar dan tidak stereotip.
8. Memiliki pengalaman mistikal atau spiritual, walaupun tidak harus religius.
9. Mengenal harkat kemanusiaan, memiliki minat sosial (gemeinschaft).
10. Cenderung memiliki hubungan akrab dengan sedikit orang tercinta alih-alih hubungan renggang dengan banyak orang.
11. Memiliki nilai dan sikap demokratis.
12. Tidak mengacaukan sarana dengan tujuan.
13. Rasa humornya filosofik, tidak berlebihan.
14. Sangat kreatif.
15. Menolak bersetuju dengan kultur.
16. Luluh dengan lingkungan alih-alih sekedar menanganinya.
Jadi disini menurut Maslow, tujuan mencapai aktualisasi diri itu bersifat alami yang dibawa sejak lahir. Secara genetik manusia mempunyai potensi dasar yang positif. Disamping itu manusia juga mempunyai potensi dasar jalur perkembangan yang sehat untuk mencapai aktualisasi diri. Jadi orang yang sehat adalah orang yang mengembangkan potensi positifnya mengikuti jalur perkembangan yang sehat, lebih mengikuti hakekat alami di dalam dirinya, alih-alih mengikuti pengaruh lingkungan di luar dirinya.
Lebih lanjut Iqbal berpendapat, amal manusia penting bagi upaya aktualisasi diri. Diri manusia itu bukan merupakan satu kesatuan hidup yang telah sempurna. Watak diri manusia adalah perjuangan untuk mencapai suatu kesatuan yang lebih inklusif, lebih efektif, lebih seimbang dan lebih unik. Diri manusia penuh dengan potensi yang tidak akan habis terkuras. Nilai kedirian tidak akan pernah terealisasikan sepenuhnya, meskipun kemampuan dan tenaga yang dipancarkan begitu hebat.
Pendapat Iqbal ini tidak berlebihan, karena dalam Al-Qur’an surat At- Tiin (95) ayat 4-6 disebutkan, manusia yang lalai pada hakikat kemanusiaannya, tidak mengembangkan potensi diri, membunuh bakat kemanusiaan atau menyia-menyiakan realitas dirinya sebagai sebaik-baik makhluk, maka ia jatuh ke dalam derajat yang paling hina.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang – orang yang beriman dan beramal saleh.
Dari sini penulis bisa menyimpulkan bahwa aktualisasi diri itu membutuhkan proses dimana setiap manusia bisa mewujudkan potensi di dalam dirinya asalkan bersifat yang positif baik itu dalam bidang umum seperti hal-hal yang bersifat duniawi, contohnya dalam hal lapangan pekerjaan maupun dalam hal urusan keagamaan. Karena dalam hal ini, agama bukan semata-mata pengakuan dalam hati dan lisan namun perlu diaktualisasikan melalui amal perbuatan.
Aktualisasi juga diperlukan dalam mencapai tujuan pendidikan, seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif , mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tanpa adanya aktualisasi yang nyata maka tujuan pendidikan yang diidam-idamkan tidak akan pernah terwujud.