Mengenai Saya

Foto saya
sumenep, sumenep jawa timur, Indonesia
enjoy, sopan dan siap bersaing

Kamis, 07 Juli 2011

Sejarah Permainan Rubik’s Cube (Kubus Rubik)

Sekarang ini pasti kamu sering melihat banyak orang yang main kubus warna-warni yang sering disebut juga Rubik’s Cube atau yang juga dikenal dengan sebutan Kubus Rubik. Bahkan bisa jadi ada teman atau saudaramu ikut memainkan Kubus Rubik ini. Nah, bagi kamu yang baru saja bermain Kubus Rubik, ternyata Rubik’s Cube atau Kubus Rubik adalah sebuah puzzle mekanis yang diciptakan oleh seorang profesor arsitektur asal negara Hungaria yang bernama Erno Rubik pada tahun 1974. Awalnya permainan ini dinamakan “Magic Cube” oleh penciptanya, tetapi kemudian pada tahun 1980 diubah namanya menjadi “Rubik’s Cube”.
read more.....?
Sebuah Rubik’s Cube mempunyai 43.252.003.274.489.856.000 atau sekitar 43 quintillion (miliar miliar) kombinasi posisi yang mungkin ada, walaupun seringkali hanya disebutkan mempunyai “jutaan” kemungkinan, yang disebabkan betapa besarnya angka-angka tersebut. Namun meskipun mempunyai kemungkinan posisi yang teramat sangat banyak, cube dapat diselesaikan dalam rata-rata 56 gerakan/putaran saja (dengan metode CFOP), bahkan bisa kurang dari angka tersebut.
Permainan puzzle ini mencapai puncak popularitasnya di awal-awal tahun 1980-an. Bahkan sempat dikatakan bahwa pada masa tersebut rata-rata setiap rumah di Amerika Serikat mempunyai sedikitnya satu buah permainan puzzle ini. Sampai detik ini diperkirakan telah lebih dari 100.000.000 Kubus Rubik terjual
di seluruh dunia. Permainan ini diklaim dapat meningkatkan ketajaman kecerdasan visual spasial dan daya nalar, sehingga tak heran banyak orang kecanduan memainkannya. Saking kecanduan dengan permainan yang menguras otak dan kecepatan jari ini, bisa jadi kamu malah nyuekin pacar kamu deh. Coba dicek dulu, pas kamu lagi main Kubus Rubik, pacar kamu ngambek atau tidak?
Speedcubing
Setelah mengetahui asal-usul Kubus Rubik, nah ternyata cara menyelesaikannya dengan berbagai macam metode. Bagi kamu yang sudah hapal metode beginner atau bahkan sudah banyak belajar mengenai metode F2L, OLL, dan PLL, kamu bisa mengikuti tantangan Speedcubing. Apa itu Speedcubing? Speedcubing adalah olahraga menyelesaikan tantangan Rubik’s Cube dalam waktu secepat-cepatnya, di mana kecepatan tangan dan otak yang terlatih sangatlah dibutuhkan. Untuk mengikuti tantangan ini, tentunya kamu harus banyak berlatih dan mencari cara yang efektif untuk menyelsaikan Kubus Rubik dengan cepat. Tentunya kamu harus banyak berlatih Uuntuk mendapatkan kunci permainan rubik. Salah satunya adalah dengan melatih Fingertrick.
Sampai saat ini, telah banyak kejuaraan diadakan untuk menentukan siapa yang dapat menyelesaikan Kubus Rubik dalam waktu tercepat. Kejuaraan dunia pertama diadakan pada tanggal 5 Juni 1982 di Budapest, Hungaria, negara asal permainan ini. Kejuaraan ini dimenangkan oleh Minh Thai, seorang pelajar asal Los Angeles dengan catatan waktu 22,95 detik. Setelah itu sempat terjadi kevakuman, akibatnya kepopuleran Kubus Rubik makin meredup. Kejuaraan dunia yang kedua diadakan pada tanggal 24 Agustus 2003 di Toronto. Kejuaraan tersebut dimenangkan oleh Dan Knights, seorang programmer asal San Fransisco, dengan waktu 20.02 detik. Rekor resmi terakhir yang tercatat di WCA adalah 7.08 detik yang dicetak oleh Erik Akkersdijk, seorang pemuda berkebangsaan Belanda
Selengkapnya...

Jumat, 08 Oktober 2010

TEORI AKTUALISASI DIRI ABRAHAM HAROLD MASLOW

Riwayat Hidup Abraham Harold Maslow
Abraham Harold Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York pada tanggal 1April 1908. Orang tuanya adalah imigran Yahudi tidak berpendidikan dari Rusia yang pindah ke Amerika Serikat dengan harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, Maslow oleh orang tuanya didorong dengan kuat agar mencapai keberhasilan dalam pendidikan. Hal ini menjadikan Maslow kesepian dan menderita di masa kanak-kanak dan remaja. Tentang perlakuan orang tua berikut akibatnya itu Maslow menulis : “Jika mengingat masa kanak-kanak saya, cukup mengherankan bahwa saya tidak menjadi psikotik karenanya. Saya adalah satu-satunya anak laki-laki Yahudi di sebuah perkampungan non Yahudi di pinggiran kota Brooklyn. Di sekolah saya diperlakukan sama dengan perlakuan yang diterima oleh anak-anak Negro,terisolasi dan tidak bahagia. Pendek kata, saya tumbuh di perpustakaan di antara buku-buku, tanpa teman. ” Diduga bahwa hasrat Maslow untuk menolong orang lain agar bisa hidup dalam kehidupan yang lebih kaya (lebih bermakna) berasal dari hasratnya untuk memperoleh kehidupan yang kaya yang tidak ia peroleh di masa mudanya. Namun rupanya tidak seluruh tahun-tahun pertama kehidupannya dihabiskannya untuk menyendiri belajar, sebab ternyata ia memiliki juga pengalaman di dunia praktis.(Tak dapat disangsikan lagi, pengalaman ini menjadi sebagian sumber bagi saran-saran praktisnya sesudah Maslow tumbuh matang). Ia mulai bekerja pada usia dini pada permulaan sebagai pengantar koran. Banyak liburan musim panasnya dihabiskannya untuk bekerja pada perusahaan milik keluarga, yang kebetulan masih dikelola oleh saudara-saudaranya hingga sekarang. Usaha itu kini berupa perusahaan pembuat drum yang besar dan sukses, yakni Universal Containers,Inc. Setelah remaja, demi menuruti keinginan orang tuanya, pertama-tama Maslow belajar hukum di City College of New York (CCNY). Tetapi baru dua minggu kuliah Maslow pindah ke Universitas Cornell dan tak lama kemudian ke Universitas Wisconsin, dengan bidang psikologi sebagai pilihannya. Di Universitas Wisconsin ini Maslow meraih sarjana muda pada tahun 1930, sarjana penuh tahun 1931 dan meraih doktor pada tahun 1934. Pada waktu masih kuliah di Universitas Wisconsin inilah tepatnya pada usia dua puluh tahun Maslow menikah dengan Bertha Goodman yang berusia sembilan belas tahun,pacarnya sejak masih di sekolah menengah.
read more........
Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik dan dengan mengikuti program-program yang diadakan Watson, Maslow berharap dirinya bisa mengubah dunia. Maslow kemudian menyusun disertasi doktor di bawah bimbingan Harry F. Harlow yang menulis tentang ciri-ciri seksual serta sifat-sifat kuasa pada kera, namun dari sini adalah merupakan awal dari ketertarikannya kepada masalah seksualitas dan afeksi.
Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin (1930-1934) dan sebagai staf pengajar (1934-1935) kemudian Maslow menjadi staf peneliti di Universitas Columbia sampai tahun 1937. Semasa di Universitas Columbia ini Maslow bekerja sebagai asisten Edward L.Thorndike, salah seorang tokoh behaviorisme. Setelah itu Maslow menjadi guru besar pembantu di Brooklyn College of New York sampai tahun 1951.Maslow menyebut kota New York, pada akhir tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an, ketika ia mengajar di sana, sebagai pusat psikologi. Di kota ini ia bertemu dengan Erich Fromm, Alfred Adler, Karen Horney, Ruth Benedict dan Max Wetheimer. Dari percakapan dan pertukaran pengalaman dengan tokoh-tokoh inilah memegang peranan penting dalam pembentukan landasan pemikiran humanistik Maslow. Selain itu, kehadiran anaknya yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap behaviorisme. Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukkan anaknya membuat Maslow berpikir bahwa behaviorisme lebih cocok untuk memahami tikus daripada memahami manusia.
Tanggal 7 Desember 1941 telah mengubah arah kehidupan Maslow, sebagaimana juga terjadi pada jutaan orang lain di seluruh dunia. Ketika beberapa hari setelah serangan Jepang atas Pearl Harbour, Abraham Maslow sedang mengendarai mobil pulang ke rumah dari tugas mengajarnya di Brooklyn College, pada saat mobilnya dihentikan oleh suatu parade. Suatu parade rakyat gembel yang menyedihkan terdiri dari bermacam- macam anak pandu laki-laki dan orang-orang yang lebih tua yang memakai seragam yang sudah kuno. Bendera Amerika berkibar pada ujung barisan itu dan suling yang bersuara sumbang dengan gagah berani melagukan lagu-lagu patriotik. Bertentangan dengan suasana zaman yang dilanda peperangan, pada hari-hari pertama pecahnya Perang Dunia II itu Maslow justru sampai pada keputusan untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk menemukan sebuah teori yang menyeluruh tentang tingkah laku manusia yang akan bermanfaat bagi kepentingan dunia, sebuah “psikologi bagi kehidupan yang damai”, berlandaskan fakta-fakta nyata yang dapat diterima oleh segenap bangsa manusia. Mulailah ia membuat sintesis atas semua sudut pandangan yang pernah dipelajarinya. Maslow berkata “saya ingin membuktikan bahwa manusia mampu melakukan sesuatu yang lebih mulia daripada perang, purbasangka dan kebencian. Saya ingin menjadikan ilmu sesuatu yang juga meliputi segala persoalan yang selama ini digeluti oleh orang-orang bukan ilmuwan, yaitu agama, puisi, nilai-nilai, filsafat dan seni.”
Pada tahun 1951 Maslow menerima jabatan kepala departemen psikologi Universitas Brandeis selama 10 tahun sampai tahun 1961. Di sinilah dia bertemu dengan Kurt Goldstein (yang memperkenalkan ide aktualisasi diri kepadanya) dan mulai menulis karya-karya teoretisnya sendiri. Di sini, dia juga mulai mengembangkan konsep psikologi humanistik, konsep yang baginya jauh lebih penting ketimbang usaha-usaha teoretisnya. Selama periode ini pula Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi humanistik di Amerika Serikat. Pada tahun 1969 Maslow meninggalkan Brandeis dan menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menlo Park, California. Jabatan non akademis ini mendorong Maslow untuk secara bebas mencurahkan minatnya kepada masalah-masalah filsafat politik dan etika.
Maslow menggabungkan diri dengan sejumlah perhimpunan profesional. Ia menjadi anggota dewan psikologi bagi masalah-masalah sosial, menjadi ketua perhimpunan psikologi Negara Bagian Massachusetts, sebagai kepala divisi kepribadian dan psikologi sosial pad perhimpunan psikologi Amerika (APA), kepala divisi etika dan akhirnya memegang jabatan Presiden Perhimpunan Psikologi Amerika dari tahun 1967-1968. Di samping jabatan-jabatan tersebut Maslow juga menjadi editor pada beberapa jurnal psikologi, antara lain jurnal psikologi humanistik dan jurnal psikologi transpersonal, serta menjadi editor ahli pada beberapa penerbitan berkala. Maslow terutama tertarik kepada psikologi pertumbuhan (growth psychology), dan sampai akhir hayatnya ia mendukung Essalen Institute di California dan kelompok-kelompok lain yang melibatkan diri dalam gerakan daya manusia (human potential movement). Tidak cukup “bermain-main” dengan humanisme, menjelang akhir hayatnya Maslow mengenalkan lagi satu aliran yang dikenal sebagai mazhab keempat, yakni psikologi Transpersonal, yang berbasis pada filosofi dunia timur dan mempelajari hal-hal semacam meditasi, fenomena parapsikologi dan kesadaran level tinggi (Altered States of Consciousness,ASC). Maslow akhirnya meninggal karena serangan jantung pada tanggal 8 Juni 1970.
Sebagian besar buku-buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, yang meliputi buku buku Toward a Psychology of Being (1962), Religious and Peak Experiences (1964), Eupsychian Management :A Journal (1965), The Psychology of Science :A Reconnaissance (1966), Motivation and Personality (1970) dan The FatherReaches of Human Natures, sebuah buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
Teori Aktualisasi Diri Abraham Harold Maslow
Pengertian” aktualisasi diri ”( self actualization ) yang penulis bahas pada kesempatan kali ini adalah murodif dengan term “realisasi diri “ (self realization ) yang masing – masing mempunyai pengertian yang mengacu kepada pemenuhan pengembangan diri atas potensi dan kapasitas sendiri.
“Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya”. Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Lebih lanjut aktualisasi diri adalah keinginan untuk memperoleh kepuasan dengan dirinya sendiri (self fulfilment), untuk menyadari semua potensi dirinya, untuk menjadi apa saja yang dia dapat melakukannya, dan untuk menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka mengekspresikan kebutuhan dasar kemanusiaan secara alami, dan tidak mau ditekan oleh budaya. Dalam aktualisasi diri yang optimal terkandung dua unsur penting yang terintegrasi yakni kepuasan diri dan kepuasan lingkungan oleh prestasi optimal yang diraih berkat upaya keras yang bisa membutuhkan waktu bertahun – tahun. Tentu saja, proses pencapaian aktualisasi diri baru akan teraih bila lingkungan secara kondusif memberi kesempatan bagi kebebasan individu untuk berlatih mengembangkan potensinya secara optimal yang dibantu melalui proses pendidikan.
Persepsi di atas menurut penulis, mencerminkan pemberian tempat atau wadah secara khusus untuk pengembangan potensi diri bagi individu dirasa perlu mendapat perhatian khusus oleh individu itu sendiri. Sebenarnya teori ini adalah salah satu bagian dari teori hirarki kebutuhan yang menempati posisi teratas, namun disini penulis hanya membahas teori aktualisasi dirinya Abraham Maslow yang berkenaan dengan tujuan pendidikan menurut Ibn Khaldun.
Konon, sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu, sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital (Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya perlu dibalik. Seandainya itu benar-benar kejadian, maka yang paling bawah bukanlah kebutuhan fisik (fisiologis), melainkan aktualisasi-diri. Maslow menyesal karena teori yang sebenarnya dimaksud untuk memaparkan problema masyarakat saat itu, mengilhami orang-orang tertentu untuk menjadi tamak dan terus-terusan memikirkan kebutuhan fisiknya, kebutuhan ragawinya. Di sisi lain, seperti yang kerap kita dengar, teori ini juga banyak “dimanfaatkan” oleh orang-orang malas untuk menjustifikasi kemalasannya dengan alasan kebutuhan fisik.
Sebagaimana kita ketahui, Maslow mengeluarkan teori motivasi yang diasaskan pada kebutuhan manusia dalam bentuk gambar piramida (kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, aktualisasi-diri). Tak tahunya, teorinya ini bisa dibilang termasuk yang paling mashur dan telah dijadikan pedoman banyak orang. Kalau membaca buku-buku manajemen yang beredar, ada sedikitnya tiga penjelasan dari teori Maslow itu.
Pertama, setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi. Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan lain-lain terpenuhi.
Kedua, setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa melewatinya. Jika ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. .
Ketiga, Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu: tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan pemenuhan dari faktori nternal.
a. Aktualisasi potensi
Kalau berbicara tentang potensi manusia, ini mungkin referensinya sudah sangat banyak. Profesor satu berbicara ada sekian kecerdasan yang terpendam dalam diri manusia. Profesor satunya lagi berbicara ada sekian bakat yang terpendam. Profesor lain lagi berbicara ada sekian kompetensi dasar. Kitab suci berbicara betapa hebatnya manusia itu dan sekaligus berbicara betapa lemahnya manusia itu. Intinya, seperti kesimpulan Daniel Goleman, seberapa pun kecerdasan manusia itu bisa diungkap, yang sanggup diungkap itu hanya sebagian dan sekian.
Meski terkesan ada perbedaan yang cenderung sulit disepakati tentang “istilah”nya, tetapi semuanya sepakat untuk satu hal, yaitu: potensi manusia itu selamanya tidak akan berubah menjadi prestasi selama tidak diaktualisasikan. Maslow sempat bicara: “Saat ini juga Anda sudah berada di dalam posisi yang tepat untuk melakukan apapun. Di dalam diri Anda sudah terdapat kapasitas, bakat, misi, arah hidup dan panggilan yang menyadarkan.”
Untuk mengaktualisasikan potensi menjadi prestasi, memang dibutuhkan banyak hal, banyak proses, banyak waktu, banyak uang, banyak fasilitas dan sebagainya. Tapi, ini semua dibutuhkan setelah ada satu hal: munculnya motivasi dari dalam diri seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya atau meminjam istilah pribadi-pribadi yang teraktualisasikan (self actualizers) yaitu dimana orang-orang menggunakan seluruh kemampuan mereka untuk meraih potensi tersebut. Dipikir-pikir, katakanlah untuk kasus di Indonesia, ini lebih bermanfaat. Kalau kita menunda-bahkan menghentikan perjalanan meraih kebutuhan aktualisasi dengan alasan menunggu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya dalam Piramida Maslow itu, maka pertanyaannya bukan masalah benar atau salah, tapi kapan bisa tercapai. Barangkali inilah yang ikut andil atas munculnya fenomena di mana kebanyakan kita tidak pernah tahu apa potensi dan keunggulan kita, apa kompetensi dan kecerdasan dasar yang kita miliki sampai kita meninggal dunia, padahal katanya potensi yang kita miliki itu banyak sekali. Ini benar-benar paradoks.
b. Bukti Diri
Memunculkan dorongan aktualisasi diri juga kita butuhkan saat menghadapi realitas yang brutal atau bertentangan dengan keinginan. Realitas semacam itu sama artinya dengan halang rintang. Meski realitas itu tak berbicara, tetapi sebetulnya ia menawarkan tiga pilihan: a) apakah Anda akan mundur, b) apakah Anda akan diam, dan c) apakah Anda akan tetap memutuskan untuk melangkah maju dengan mencari jalan lain. Kita pilih yang manapun, sebetulnya itu pilihan kita. Tak ada orang lain yang punya ruang ikut campur di sini. Cuma, pilihan yang kita jatuhkan itu adalah bukti siapa diri kita. Jika kita memilih mundur, itulah bukti siapa diri kita. Meski kita sanggup mengungkapkan beribu dalih, tapi dunia ini akan tetap mencatat itulah bukti siapa diri kita. Itulah kita yang mundur. Sebaliknya, jika kita memilih maju dengan mencari jalan lain, itu pulalah bukti siapa diri kita. Meski tidak ada koran yang menulisnya tetapi dunia ini akan mencatatnya sebagai rapor (report) .
Kaitannya dengan bahasan kita ini adalah, jika kita menjadikan terpenuhinya kebutuhan fisik, keamanan, sosial dan lain-lain sebagai pra-syarat yang kita tetapkan untuk memulai langkah maju, dengan berlindung di balik Piramida Maslow, tentu kasihan sekali konsep itu. Piramida itu dikeluarkan untuk memotivasi manusia supaya lebih maju, tapi kini disalahgunakan untuk men-demotivasi. Hal lain yang lebih krusial adalah sikap dunia. Dunia ini tidak punya kebijakan yang berbasiskan perasaan, seperti iba atau kasihan atas dalih yang kita kemukakan. Ketika kita mengambil keputusan mundur, dunia ini membalasnya dengan kemunduran. Ketika kita mengambil keputusan diam, dunia ini membalasnya dengan stagnasi. Ketika kita mengambil keputusan maju, dunia ini membalasnya dengan progresivitas. Ini diberikan dengan tanpa memandang hierarki kebutuhan.
Jadi, kita kedepankan atau kita “simpan” masalah aktualisasi diri itu, pada akhirnya dunia ini tetap menuntut untuk diawalkan, di kedepankan, di utamakan. Suka atau tidak, siap atau tidak, memang sudah begitu garisnya. Ini kalau kita bicara minimalnya untuk dua konteks di atas.
Adapun untuk konteks lain, bisa jadi akan lebih bermanfaat kalau Piramida itu diikuti, misalnya untuk memotivasi anak buah atau karyawan. Penggoda bernama desakan "Kebutuhan". Menurut petuah klasik orang-orang bijak, jika Tuhan harus lebih banyak mengingatkan manusia tentang kehidupan dunia yang membahayakan dan kehidupan akhirat yang lebih menjanjikan, itu bukan berarti kehidupan dunia ini tidak penting. Dunia ini tetap penting, terlepas kita menganggapnya penting atau tidak.
Peringatan terhadap dunia itu dikeluarkan berkaitan dengan “the nature” manusia. Secara insting, manusia lebih tertarik dengan kehidupan dunia, target jangka pendek, dan hasil yang langsung kelihatan dan bisa dilihat orang lain, sekaligus bisa dinikmati sekarang juga. Manusia, by nature, kurang tertarik dengan kehidupan akhirat, yang nanti, yang tidak kelihatan langsung, dan yang tidak bisa dinikmati sekarang.
Jika Tuhan lebih banyak mengingatkan keutamaan intelektual, emosional dan spiritual (kualitas manusia), dan lebih banyak mengingatkan bahayanya kekayaan, perhiasan atau penampilan, itu bukan berarti semuanya itu tidak penting bagi manusia. Tapi, ini karena, secara nafsu, manusia lebih tertarik untuk mengejar kemewahan dengan harta ketimbang mengasah intelektualnya atau emosionalnya. Manusia lebih tertarik menunjukkan kekayaannya (show-off) ketimbang tertarik untuk meng-amal-kan (sebagian) kekayaannya kepada orang lain.
Jika itu semua kita jelaskan dengan bahasa manajemen, mungkin kebutuhan dunia (jangka pendek, kelihatan langsung) atau kebutuhan fisik manusia itu selalu berada pada level “urgent” dalam diri manusia. Sementara, kebutuhan yang berjangka panjang, kebutuhan yang mengarah pada terbentuknya kualitas manusia, dan semisalnya selalu ditempatkan pada level “important”. Sayangnya, seperti pesan Covey, kebanyakan manusia lebih sering merasa terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan urgent-nya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang important. Covey menyebutnya dengan istilah keracunan desakan. Sebagai contohnya misalnya, adakah orang yang merasa terdesak untuk membaca buku, beramal, mengasah potensinya, dan semisalnya? Kalau pun ada, itu jumlahnya sedikit. Tapi, jika kita bertanya adakah orang yang terdesak untuk membeli teve terbaru, handphone terbaru, atau mobil keluaran baru, tentu ini jumlahnya terlalu banyak.
Kaitannya dengan motivasi berprestasi adalah, jika kita selalu menjadikan pemenuhan kebutuhan fisik (dalam pengertian yang luas), sebagai syarat mutlak untuk berprestasi, berkarya, berkreasi atau berbuat baik bagi manusia, kerapkali ini akan dikalahkan oleh dorongan kebutuhan yang tidak ada habisnya itu. Bahkan seringkali hanya berupa tipuan. Desakan kebutuhan fisik itu seperti air laut. Semakin banyak kita minum, semakin haus kita.
Karenanya, kepentingan kita untuk membalik piramida itu bukan untuk sebagai bahan menulis puisi bahwa Maslow telah gagal. Bukan untuk itu. Maslow telah “berijtihad” dengan kemampuannya dan untuk konteks tertentu masih tetap perlu dijadikan rujukan, misalnya untuk pimpinan organisasi. Kepentingan kita untuk membaliknya itu adalah agar kita tidak terjebak dalam upaya memenuhi kebutuhan fisik dan mengabaikan kebutuhan aktualisasi dengan berlindung di balik teori Piramida. Dan lagi, kalau kita mau hitung-hitungkan sederhana, jika kita sudah mengaktualisasikan potensi yang kita miliki menjadi kumpulan prestasi yang terus bertambah dan mengaktualisasikan “siapa diri kita” dalam menghadapi realitas, maka dengan sendirinya kebutuhan fisik, rasa aman, kasih sayang dan penghargaan akan kita dapatkan dengan mudah.
Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya. Maslow juga melukiskan kebutuhan ini sebagai “Hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya ”.
Mengenai pemanfaatan atau pengembangan potensi-potensi jiwa yang merupakan pangkal atau sumber-sumber yang ada dan terpendam yang harus dikembangkan serta diyakini bahwa setiap jiwa itu sebagai permata yang tak ternilai. Dalam hal ini Ghazali menuturkan : “ Siapa meyakini setiap jiwa sebagai permata tak ternilai, ia pun berhati-hati agar tidak menyia-nyiakan…… termasuk faedahnya adalah mampu mengutamakan orang lain dan mencapai keutamaan.”
Penuturan Al-Ghazali tersebut di atas merefleksikan bahwa jiwa itu permata yang tak ternilai yang perlu dijaga, demikian juga dibina atau diarahkan, dikontrol dan dikendalikan dari yang jelek menuju yang baik. Hal ini disebabkan karena perubahan jiwa yang baik tidak akan terjadi sebelum orangnya sendiri berupaya untuk merubahnya.
Termasuk di dalam perubahan jiwa ini adalah perubahan dalam berpikir dimana dalam hal ini aspek kognitif atau intelektual yang lebih dominan lalu diikuti perubahan secara rohani yang dibuktikan dengan adanya akhlakul karimah.
Selain perubahan jiwa yang telah disebutkan di atas, dalam aktualisasi diri juga mencakup aspek perubahan secara jasmani atau fisik. Artinya seorang individu yang beraktualisasi diri tidak hanya perubahan jiwa tetapi juga pemanfaatan suatu potensi diri juga diimbangi dengan adanya aspek fisik yang memadai, seperti dalam sebuah semboyan “ dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat “, sehingga nantinya pengembangan potensi diri individu bisa mencerminkan seorang manusia seutuhnya yang bisa diharapkan bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan di sekitarnya.
Definisi pribadi yang teraktualisasikan diri memang masih kabur, namun secara bebas Maslow melukiskannya sebagai “Penggunaan dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dsb. Orang semacam itu memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya”. Kriterium negatifnya ialah tiadanya kecenderungan-kecenderungan ke arah gangguan-ganggugan psikologis, neurois atau psikosis. Pribadi yang teraktualisasikan diri merupakan contoh tepat spesies manusia , wakil kelompok yang kemudian oleh Maslow disebut “pucuk yang tumbuh mekar” (the “growing tip”).
Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu tidak hanya berupa penciptaan kreasi atau karya-karya berdasarkan bakat-bakat atau kemampuan-kemampuan khusus. Orang tua, mahasiswa, dosen, sekretaris, dan buruhpun bisa mengaktualisasikan dirinya , yakni dengan jalan membuat yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya dengan bidangnya masing-masing, misalkan seorang musisi harus menciptakan musik, seorang artis harus melukis, seorang penyiar harus bersyair, jika pada akhirnya ia ingin tenteram. Ia harus jujur terhadap sifatnya sendiri. Kebutuhan ini dapat kita sebut perwujudan diri. Istilah ini yang mula-mula diciptakan oleh Kurt Goldstein dalam buku ini dipergunakan dalam arti yang jauh lebih khusus dan terbatas. Istilah itu menunjuk pada keinginan orang akan perwujudan diri, yakni pada kecenderungannya untuk mewujudkan dirinya sesuai kemampuannya. Kecenderungan ini dapat diungkapkan sebagai keinginan untuk makin lama makin istimewa, untuk menjadi apa saja menurut kemampuannya. Bentuk pengaktualisasian diri ini berbeda pada setiap orang. Hal ini disebabkan adanya perbedaan individual. Namun dengan kata lain, beragam profesi manusia dengan latar belakang apapun bisa menuju pada taraf aktualisasi diri.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat dipahami bahwa yang menjadi tolok ukur akan aktualisasi diri disini adalah kemampuan daripada individu itu sendiri dalam mewujudkan apa yang menjadi ide dan hasrat serta kesadaran diri yang sebelumnya telah didahului adanya dan didasarkan pada potensi atau kemampuan yang konstruktif yang ia miliki.
Bagaimanapun Maslow bahwa untuk mencapai taraf aktualisasi diri atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri tidaklah mudah, sebab upaya ke arah itu banyak sekali hambatan-hambatannya. Hambatan yang pertama berasal dari dalam individu, yakni berupa ketidaktahuan , keraguan, dan bahkan juga rasa takut dari indivdu untuk mengungkapkan potensi-potensi yang dimilikinya, sehingga potensi-potensi itu tetap laten.
Hambatan yang kedua atas upaya aktualisasi diri itu berasal dari masyarakat. Hambatan ini selain berupa kecenderungan mendepersonalisasi individu, juga berupa perepresian sifat-sifat, bakat, atau potensi-potensi. Dalam kenyataannnya, menurut keyakinan Maslow, tidak ada satupun lingkungan masyarakat yang sepenuhnya menunjang atas upaya aktualisasi diri para warganya, meski tentunya ada beberapa masyarakat yang jauh lebih baik dan menunjang dari pada masyarakat yang lainnya.
Hambatan yang terakhir atas upaya aktualisasi diri berupa pengaruh negatif yang dihasilkan oleh kebutuhan yang kuat akan rasa aman. Oleh individu-individu yang kebutuhan akan rasa amannya terlalu kuat, pengambilan resiko, pembuatan kesalahan, dan pelepasan kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak konstruktif itu justru akan merupakan hal-hal yang mengancam atau menakutkan, dan pada gilirannya ketakutan ini akan mendorong individu-individu tersebut untuk bergerak mundur menuju pemuasan kebutuhan akan rasa aman.
Oleh karena the need for self actualization itu tidak mudah diaktualisasikan dan bentuknya pun juga mengalami perbedaan pada setiap orang, maka kita harus menerima kemampuan kita itu dengan penuh lapang dada. Namun kita tetap bertumpu pada diri sendiri artinya kita tidak usah meniru-niru orang lain dan yakin pada diri sendiri. Bahkan kita bisa melakukan seperti apa orang lain lakukan dihadapan kita. Karena sebenarnya hanya kitalah yang tahu akan kemampuan kita sendiri dan kita masih memiliki kekuatan-kekuatan baru yang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa pencapaian aktualisasi diri disamping membutuhkan kondisi lingkungan yang menunjang, juga menuntut adanya kesediaan atau keterbukaan individu terhadap gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman baru.
Ciri-Ciri Aktualisasi Diri
“Aktualisasi diri” kata Maslow, hanya terdapat pada orang orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang , bukan sebagai suatu proses dinamis yang terus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ada dari pada jadi. Karena orang-orang yang “teraktualisasikan dirinya” demikian ini biasanya berumur enam puluh tahun atau lebih, maka kebanyakan orang tidak termasuk dalam kategori ini; mereka ini belum statis, mereka belum sampai; mereka sedang beranjak ke arah kematangan.
Proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam. Dalam tulisan-tulisannya yang lebih mendalam Maslow mengusulkan bahwa mungkin istilahnya yang lebih jelas adalah “menjadi manusiawi secara penuh”. Tidak semua orang berbakat yang produktif dan berhasil memenuhi gambaran tentang kesehatan psikologis, kematangan atau aktualisasi diri. Mungkin ciri-ciri paling universal dan paling umum dari manusia-manusia superior ini adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, melihat hidup secara apa adanya bukan menurutkan keinginan mereka. Mereka tidak bersikap emosional, justru bersikap lebih obyektif terhadap hasil-hasil pengamatan mereka. Kebanyakan orang hanya mau mendengarkan apa yang mau mereka dengar dari orang lain sekalipun hanya pendengaran mereka sama sekali tidak benar atau tidak jujur, sebaliknya orang-orang yang teraktualisasikan dirinya tidak akan membiarkan harapan-harapan dan hasrat-hasrat pribadi menyesatkan pengamatan mereka. Mereka memiliki kamampuan jauh di atas rata-rata dalam menilai orang secara tepat dan dalam menyelami segala kelancungan serta kepalsuan. Umumnya, pilihan pasangan mereka dalam perkawinan jauh lebih baik dari pada rata-rata ,sekalipun tidak sempurna.
Meski demikian mereka memiliki sifat rendah hati, mampu mendengarkan orang lain dengan penuh kesabaran, mau mengakui bahwa mereka tidak tahu segala-galanya, dan bahwa orang lain mampu mengajari mereka sesuatu. Persepsi yang ampuh ini sebagian lahir dari dan dalam pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Konsep ini juga dilukiskan sebagai sifat lugu pada anak-anak serta tiadanya kecongkakan.
Maslow menemukan bahwa tanpa kecuali orang – orang yang mengakutalisasikan diri membaktikan hidupnya pada pekerjaan, tugas, kewajiban, atau pannggilan tertentu yang mereka pandang penting. Karena berminat pada pekerjaannya itu, mereka bekerja keras, namun perbedaan yang lazim antara bekerja dan bermain menjadi kabur. Bagi mereka bekerja memberi kegembiraan dan kenikmatan. Rupanya rasa bertanggung jawab atas suatu tugas yang penting merupakan syarat utama bagi pertumbuhan, aktualisasi diri serta kebahagiaan.orang yang mengaktualisasikan diri juga melakukan pekerjaannya dengan baik.
Maslow juga menemukan kreativitas sebagai ciri universal pada semua orang yang mengaktualisasikan diri yang diselidikinya. Sifat kreatif nyaris memiliki arti sama dengan kesehatan, aktualisasi diri dan sifat manusiawi yang penuh. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan kreativitas ini adalah fleksibilitas, spontanitas, keberanian, berani membuat salah, keterbukaan dan kerendahan hati. Maslow percaya, ini merupakan sifat yang sering kali hilang ketika orang telah dewasa. Orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak kehilangan pendekatan yang segar dan naif ini, atau jika toh kehilangan , mereka akan mendapatkannya di kemudian hari.
Salah satu ciri orang yang teraktualisasikan dirinya ialah kadar konflik dirinya yang rendah. Ia tidak berperang melawan dirinya sendiri; pribadinya menyatu. Berarti ia memiliki lebih banyak energi untuk tujuan-tujuan yang produktif. Maslow beranggapan bahwa orang yang sehat menemukan kebahagiaan dalam membantu orang lain. Maka baginya sikap tidak mementingkan dirinya itu mengandung sifat mementingkan diri juga. Orang yang sehat bersikap mementingkan diri dengan cara yang sehat, cara yang bermanfaat baginya dan bagi masyarakat juga. Jadi secara umum orang yang mencapai aktualisasi diri mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Orientasinya realistik, memandang realitas secara efisien.
2. Menerima diri, orang lain dan alam sekitar apa adanya.
3. Spontan, sederhana, alami.
4. Lebih memperhatikan masalah alih-alih memperhatikan diri sendiri.
5. Berpendirian kuat dan membutuhkan privacy.
6. Otonom dan bebas dari kultur lingkungan.
7. Memahami orang dan sesuatu secara segar dan tidak stereotip.
8. Memiliki pengalaman mistikal atau spiritual, walaupun tidak harus religius.
9. Mengenal harkat kemanusiaan, memiliki minat sosial (gemeinschaft).
10. Cenderung memiliki hubungan akrab dengan sedikit orang tercinta alih-alih hubungan renggang dengan banyak orang.
11. Memiliki nilai dan sikap demokratis.
12. Tidak mengacaukan sarana dengan tujuan.
13. Rasa humornya filosofik, tidak berlebihan.
14. Sangat kreatif.
15. Menolak bersetuju dengan kultur.
16. Luluh dengan lingkungan alih-alih sekedar menanganinya.
Jadi disini menurut Maslow, tujuan mencapai aktualisasi diri itu bersifat alami yang dibawa sejak lahir. Secara genetik manusia mempunyai potensi dasar yang positif. Disamping itu manusia juga mempunyai potensi dasar jalur perkembangan yang sehat untuk mencapai aktualisasi diri. Jadi orang yang sehat adalah orang yang mengembangkan potensi positifnya mengikuti jalur perkembangan yang sehat, lebih mengikuti hakekat alami di dalam dirinya, alih-alih mengikuti pengaruh lingkungan di luar dirinya.
Lebih lanjut Iqbal berpendapat, amal manusia penting bagi upaya aktualisasi diri. Diri manusia itu bukan merupakan satu kesatuan hidup yang telah sempurna. Watak diri manusia adalah perjuangan untuk mencapai suatu kesatuan yang lebih inklusif, lebih efektif, lebih seimbang dan lebih unik. Diri manusia penuh dengan potensi yang tidak akan habis terkuras. Nilai kedirian tidak akan pernah terealisasikan sepenuhnya, meskipun kemampuan dan tenaga yang dipancarkan begitu hebat.
Pendapat Iqbal ini tidak berlebihan, karena dalam Al-Qur’an surat At- Tiin (95) ayat 4-6 disebutkan, manusia yang lalai pada hakikat kemanusiaannya, tidak mengembangkan potensi diri, membunuh bakat kemanusiaan atau menyia-menyiakan realitas dirinya sebagai sebaik-baik makhluk, maka ia jatuh ke dalam derajat yang paling hina.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang – orang yang beriman dan beramal saleh.
Dari sini penulis bisa menyimpulkan bahwa aktualisasi diri itu membutuhkan proses dimana setiap manusia bisa mewujudkan potensi di dalam dirinya asalkan bersifat yang positif baik itu dalam bidang umum seperti hal-hal yang bersifat duniawi, contohnya dalam hal lapangan pekerjaan maupun dalam hal urusan keagamaan. Karena dalam hal ini, agama bukan semata-mata pengakuan dalam hati dan lisan namun perlu diaktualisasikan melalui amal perbuatan.
Aktualisasi juga diperlukan dalam mencapai tujuan pendidikan, seperti yang tercantum dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif , mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tanpa adanya aktualisasi yang nyata maka tujuan pendidikan yang diidam-idamkan tidak akan pernah terwujud.
Selengkapnya...

Minggu, 15 Agustus 2010

PENDIDIKAN BERBASIS MUTU TELAAH ATAS PEMIKIRAN IBNU SINA

A.Biografi Ibnu Sina
1.Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husien Ibn Abdullah Ibn Hasan Ibn Ali Ibn Sina. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin Aven Sina dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya yaitu Afshango.
read more....
Ibnu Sina dilahirkan di Desa Akhsyanah, dekat Bukhara pada tahun 370 H/ 980M. para ulama berbeda pendapat tentang tahun kelahirannya. Al-Qibthi dan Ibnu Khalkan mengatakan kelahiran Ibnu Sina pada tahun 370/980. Ibnu Abi Ushaibiah mengatakan pada tahun 375/985. sedangkan ada yang mengatakan kelahirannya pada tahun 373/983, dan menurut Muhammad Ustman Nafati pada tahun 363/973. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa Ibnu Sina di lahirkan di Persia pada bulan Safar tahun 980 M, ayahnya tinggal di kota Baikh yaitu sebuah kota yang terletak antara Georgia dan Turkistan.
Ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Astarah dari Afghanistan, ada juga yang mengatakan bahwa ibu Ibnu Sina berkebangsaan Persia. Karena ada abad ke 10 M Afghanistan berada di bawah kekuasaan Persia. Ayahnya adalah penganut Syi’ah Ismai’iliyah. Walaupun diri Ibnu Sina menolak identitas itu. Keluarganya termasuk keluarga kaya dan terpandang. Latar belakang keluarganya yang demikian merupakan faktor yang sangat mendukung dalam pembentukan pribadi ilmiahnya, disamping kecemerlangan otaknya.
Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Sina dikenal sebagai intelektual muslim yang banyak mendapat gelar. Tampilnya Ibnu Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal didukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibu kota kebudayaan dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Menurut catatan sejarah Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya yaitu Bukhara.
Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur’an, setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, Ushuluddin. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.
Ibnu Sina belajar dibawah pengawasan ayahnya dan salah seorang gurunya ialah Ismail Az-Zahid yang mengajarkan ilmu akhlak, tasawuf dan fiqih. Setelah umur 10 tahun dan ilmu-ilmu agama telah dikuasai, maka ayahnya menyuruh belajar filsafat dengan segala cabang-cabangnya. Pertama belajar ilmu hitung ada seorang saudagar India (kawan ayahnya), kemudian ia tidak pas dengan ilmu hitung saja, tapi ingin segala macam ilmu. Kebetulan sekali seorang sahabat ayahnya bernama Abu Abdullah Natili yang terkenal sebagai mutafalsit atau calon filosofi berkunjung ke Bukhara dan menginap dirumahnya sehingga kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh ayahnya agar puteranya belajar pada Natili, akan tetapi proses belajarnya tidak begitu lama, sang guru ingin pulang ke daerahnya.
Diusianya yang keenam belas Ibnu Sina mampu mempersembahkan karyanya sendiri yakni tentang; hukum Islam, filsafat, ilmu alam, mantiq (logika) dan matematika (geometri). Selain itu Ibnu Sina juga menempati posisi istimewa dalam ilmu kedokteran, sehingga banyak dokter beken yang mulai belajar padanya. Dalam pandangan Ibnu Sina, kedokteran bukanlah bidang ilmu yang rumit.
Sedangkan bidang ilmu yang menurut Ibnu Sina rumit adalah metafisika. Dia mengaku membaca metaphysics karya Aristoteles sebanyak empat puluh kali, namun belum juga bisa memahami maksud penulisnya. Sampai akhirnya dia meneruskan risalah Al-Farabi yang berjudul on the intentions of the metaphysics, selepas membacanya, barulah dia memperoleh kejelasan mengenai apa itu metafisika.
Diusianya yang ke enam belas tahun ini kemasyahuran Ibnu Sina telah menyebar luas sampai kepada para ahli kedokteran lainnya sehingga mereka tertarik mempelajari pengalaman dan berbagai macam teknik penyembuhan dari padanya. Ibnu Sina mencurahkan seluruh waktunya untuk menelaah, membaca dan membahas, menganalisa, meneliti dan melakukan pengkajian terhadap berbagai pendapat para ahli .
Dikisahkan bahwa ketika raja Nuh Ibn Manshur, penguasa Bukhara dan sekaligus guru Ibnu Sina, memanggilnya untuk mengobati penyakit yang diderita sang guru disaat dokter-dokter lain tidak sanggup. Sambil mengobati gurunya ini, dia memohon izin supaya diperkenankan memasuki perpustakaan pribadi Nuh Ibn Manshur untuk mempelajari lebih jauh ilmu kedokteran yang ditekuninya.
Upaya memperdalam dan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibnu Sina saat ia memperoleh kesempatan mempergunakan perpustakaan milik Nuh Bin Mansyur yang pada saat itu menjadi sultan di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi karena jasa Ibnu Sina yang berhasil mengobati penyakit sultan tersebut hingga sembuh.
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibnu Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak pelajari, hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut. Sampai datang musibah yang memutuskan segala harapan nya yaitu terjadinya kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada di dalamnya.
Sejumlah guru yang pernah mendidik Ibnu Sina, diantaranya adalah Mahmud Al-Masrah yang dikenal sebagai ahli matematika dan mengjar ajaran isma’iliyah dari India. Kemudian terdapat pula nama Ali Muhamamd Ismail Ibn Al-Husyairi yang dikenal sebagai Az-Zahid dan termashur sebagai ahli fiqih bermadzhab Hanafi di Bukhara pada saat itu. Sedangkan Abi Abdillah An-Nafili sebagai guru Ibnu Sina dalam mempelajari manthiq dan filsafat, Ibnu Sina juga pernah belajar ada Abu Sahl Isa Bin Yahya Al-Masihi Al-Jurjani yang mengajarinya ilmu kedokteran.
Ketika berusia delapan belas tahun ia telah dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan, dan ketika menginjak usia duapuluh dua tahun ayah nya meninggal dunia pada waktu timbul kekacauan politik dalam pemerintahan as-samiyah ini, terpaksa pindah ke Bukhara, kemudian pindah lagi ke Georgia, dan pindah lagi ke Rai, akhirnya pindah lagi ke Hamdan, di kota inilah ia diangkat menjadi asisten pribadi sultan Syamsuddin Daulah Abu Tahir Bin Fachrid Daulah Ali Bin Ruknid Daulah Al-Hayan Bin Buwaihid dialami karena berhasil mengobatinya.
Karena terjadinya revolusi yang digerakkan oleh pada tentara kerajaan, akhirnya diapun ditahan dalam beberapa waktu, namun raja sakit yang kedua kalinya dan akhirnya terpaksa Ibnu Sina dibebaskan kembali. Setelah kursi kekuasaan digantikan anaknya, Raja Taj Al-Malik, Ibnu Sina diminta untuk menjadi menteri raja, namun Ibnu Sina menolak dan memiliki untuk menjadi penulis dengan menempati rumah kawannya di Hamadzan. Karena merasa tidak aman tinggal di Mahadzan, akhirnya dia mengirim surat rahasia kepada Raja Ash Fahan, petinggi kerajaan untuk diperkenankan pindah. Sayang sekali permohonannya itu diketahui oleh Raja Taj-Al Malik dan kemudian raja marah serta menahan Ibnu Sina Selama empat tahun ditahanan Qardajan setelah dibebaskan untuk yang kedua kalinya Ibnu Sina masih bekerja pada raja Taj-Al Malik untuk beberapa waktu. Ibnu Sina meninggalkan kota Hamadzan dalam pakaian sufi menuju Ashfahan, setelah pentinggi kerjaan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepadanya.
Karena intelektualitas Ibnu Sina yang cukup representatif pada masanya sehingga diberi gelar Al-Syaikh Al-Rais (The Leader Among Wisemen) Hujjat Al-Haqq (The Proof Of God) dan bapak kedokteran Islam (Amir Al-Athibba’, The Prince Of Physicians). Suatu predikat mulia bagi seorang intelektual profesional yang tidak mudah diberikan kepada siapapun karena eksistensi nya yang ketat memikat.
Ibnu Sina adalah orang yang kuat kawin, sehingga tenaganya dihabiskan untuk memuaskan nafsu syahwat dengan istri-istrinya. Oleh karena itu ia akhirnya mengamali lemah jasmani dan menderita berbagai penyakit. Pada waktu tinggal di Iasfahan ia terkena penyakit berat (colig) yaitu penyakit yang menimbulkan suhu panas tinggi di tubuhnya. Pada suatu waktu ketika penyakitnya mencapai titik optimal, ia menginjeksi dirinya sendiri sampai delapan kali sehari, dan hal ini menyebabkan timbulnya bisul bernanah dibagian perutnya, maka makin beratlah sakitnya.
Walaupun jiwanya sudah terancam karena penyakitnya, ia masih tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Isfahan. Kemudian ketika Ala Ad-Daulah bermaksud akan pergi ke Hamadan, Ibnu Sina memaksakan ikut dalam rombongan tersebut. Di tengah perjalanan ia diserang lagi oleh penyakit, dan dalam keadaan demikian ia berkata “segala tenaga pengatur kekuatan tubuhku sudah lumpuh sama sekali, dan segala macam pengobatan sudah tak berguna lagi sehingga orang yang merawat tubuhku tidak diperlukan lagi, karena saya tidak membutuhkan lagi pengobatan. Akhirnya ia kemudian mandi dan bertobat kepada Allah Swt, menyedekahkan segala kekayaannya kepada kaum fakir, memaafkan setiap orang yang pernah menyakitinya, membebaskan para budaknya, membaca Al-Qur’an sampai tamat tiga hari sekali, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ia wafat pada hari jumlah bulan Ramadhan pada tahun 428 H. bertepatan dengan tahun 1037 M dan dimakamkan di Hamadan.
Dalam bidang karir dan pekerjaan yang pertama ia lakukan adalah seperti orang tuanya yaitu membantu tugas-tugas pangeran Nuh Bin Mansur. Ia diminta untuk menyusun kumpulan, pemikiran filsafat oleh Abu Al-Husain Al ‘Arudi. Ibnu Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter yang termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan sehingga pada saat itu ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek.
Penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan, sangat berpengaruh terhadap pemikirannya tentang konsep pendidikan. Di samping itu, sebenarnya yang mematangkan teori-teori pendidikannya ialah ia mempunyai pengalaman praktis dalam pengajaran. Pandangan-pandangannya tentang pendidikan sangat tajam dan komprehensif. Dengan kemampuannya tersebut, maka wajar bila para pakar pendidikan Islam mengakui bahwa Ibnu Sina banyak memberikan saham dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam, terutama dalam pendidikan peserta didik.
Abu Ali Sina telah mencetak banyak filosof dan pakar, diantara nya adalah sebagai berikut:
1. Abu Al-Hasan Bahmanyar Bin Marzaban dia adalah filosof yang sering berbeda pendapat dengan gurunya, terutama tentang kausalitas dan penulis at-tahshil (sebuah karya yang paling terkenal darinya)
2. Abu Adbillah Al-Ma’shumi, dia adalah penulis transkrip kuliah-kuliah Ibnu Sina.
3. Abu Adillah Abdul Wahid Bin Muhammad Al-Jurjani, dia adalah penulis biografi Ibnu Sina, berkat jasanyalah maka karya-karya Ibnu Sina dapat dinikmati dari generasi ke generasi hingga saat ini.
4. Abu Abdillah Muhammad Bin Yusuf Syafuddin Al-Ilaqi, dia telah mewarisi ilmu Ibnu Sina dalam bidang kedokteran dan juga sebagai penulis ikhtishar kitab Al-Qanun (Ringkasan al-qanun karya Ibnu Sina)
5. Abu Manshur Husain Bin Thahir Bin Zahlah Al-Isfahani, dia adalah filosif yang meringkas sejumlah karya besar dari Ibnu Sina, diantaranya adalah kitab Asy-Syifa dan risalah Hay Bin Yaqdhan. Dan yang menarik, dia telah menguasai ilmu musik.
Pada masa hidupnya Abu Ali Ibn Sina berkomunikasi dengan para ilmuwan, diantaranya dengan Ibnu Miksawaih dan Abu Raihan Al-Biruni serta dokter abu Al-Faraj Bin Tabib Bin Al-Jatsaliq dan Abu Masail, Iraqi, Abu Khair Bin Al-Khammar, dari mereka Ibnu Sina memperdalam ilmu-ilmu logika, alam, matematika dan kedokteran, sehingga di adat mengungguli guru-gurunya, Ibnu Sina juga mempelajari kitab dari Al-Farabi tentang metafisika. Sebelum mempelajari kitab Al-Farabi dia tidak bisa memahaminya dan setelah membacanya, ia baru memahaminya.
Para sejarah mengakui ketajaman otak (genius) Ibnu Sina dan ingatan yang kuat sekali diikuti dengan ketekunannya mempelajari ilmu pengetahuan, maka menjadilah ia seorang ahli ilmu agama, ilmu filsafat dengan segala macam bagiannya, ilmu politik dan terakhir ilmu kedokteran, jadi, sekaligus sebagai pengarang, filosofi dan dokter ahli.
2. Latar Belakang Pemikiran Ibnu Sina
Sebagaimana telah diketahui pada bab terdahulu bahwa sebagai seorang cendikiawan muslim, ia dikategorikan sebagai seorang yang produktif, karena melalui pemikiran dan pandangannya itulah Ibnu Sina dikenal oleh masyarakat seluruh dunia.
Pemikiran Ibnu Sina banyak kaitannya dengan pendidikan barang kali menyangkut pemikirannya tentang falsafat ilmu. Menurut Ibnu Sina ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang tak kekal dan ilmu yang kekal (hikmah). Ilmu yang kekal dipandang dari perannya sebagai alat dapat disebut logika. Tapi berdasarkan tujuannya, maka ilmu dapat dibagi menjadi ilmu yang praktis dan yang teoritis. Ilmu teoritis seperti ilmu kealaman, matematika, ilmu ketuhanan dan ilmu Kulli. Sedangkan ilmu yang praktis adalah ilmu akhlak, ilmu pengurusan rumah, ilmu pengurusan kota dan ilmu nabi (syariah).
Menurut Hasan Langgulung pemikiran pendidikan Ibnu Sina dalam falsafat praktisnya (ilmu praktis) memuat tentang ilmu akhlak, ilmu tentang urusan rumah tangga, politik dan syariah. Karya tersebut ada prinsipnya berkaitan dengan cara mengatur dan membimbing manusia dalam berbagai tahap dan sistem. Pembahasan diawali dari pendidikan individu. Yaitu bagaimana seseorang mengendalikan diri (akhlak). Kemudian dilanjutkan dengan bimbingan kepada keluarga (takbiral-manzil), lalu meluas ke masyarakat (tadbir al-madinat) dan akhirnya kepada seluruh umat manusia.
Maka menurut Ibnu Sina, pendidikan yang diberikan oleh nabi pada hakikatnya adalah pendidikan kemanusiaan. Disini dapat dilihat bahwa pemikiran pendidikan Ibnu Sina bersifat komprehensif. Sementara itu pandangan-pandangan Ibnu Sina dalam bidang politik hampir tidak dapat dipisahkan dari pandangan nya dalam bidang agama, karena menurutnya hampir semua cabang ilmu keislaman berhubungan dengan politik, ilmu ini selanjutnya ia bagi menjadi empat cabang yaitu ilmu akhlak, ilmu cara mengatur rumah tangga, ilmu tata negara dan ilmu tentang kenabian. Ke dalam ilmu politik ini juga termasuk ilmu. Ilmu. Pendidikan, karena ilmu pendidikan merupakan ilmu yang berada pada garis terdepan dalam menyiapkan kader-kader yang sia untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
Dalam pemikiran pendidikannya, Ibnu Sina juga telah menguraikan tentang psikologi pendidikan. Hal ini terlihat dari uraiannya mengenai hubungan pendidikan anak dengan tingkat usia, kemauan dan bakat anak dengan mengetahui latar belakang tingkat perkembangan, bakat dan kemauan anak, maka bimbingan yang diberikan kepada anak akan lebih berhasil. Menurut Ibnu Sina adanya kecenderungan manusia untuk memilih pekerjaan yang berbeda dikarenakan di alam diri manusia terdapat faktor yang tersembunyi yang sukar dipahami dan dimengerti serta sulit untuk di ukur kadarnya. Dengan pandangan Ibnu Sina ini terlihat bahwa dalam pemikiran pendidikannya ia telah merintis adanya perbedaan individu (Individual Differences) seperti yang dikenal dunia pendidikan modern sekarang.
Dalam memformulasikan konsep pendidikan, Ibnu Sina sangat menekankan pada pendidikan akhlak. Karena pada zaman itu suasana dan kondisi sosial politik pada massanya, memang sangat kacau. Ketika itu fitnah terus berkecamuk sedang kekacauan politik dan pertentangan aliran-aliran madzhab tengah melanda umat Islam. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa betapa bobroknya akhlak kaum muslimin. Padahal bila akhlak suatu bangsa telah rusak, maka bangsa tersebut pasti akan hancur pula. Kondisi sosial yang demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung telah berpengaruh terhadap pemikiran pendidikannya.
Selanjutnya Ibnu Sina membagi tingkat pendidikan menjadi dua bagian diantaranya adalah:
1. Tingkat umum. Pada tingkat uni anak dilatih untuk dapat belajar mempersiapkan badan jasmaninya, akal dan jiwanya pada tingkat ini anak diberi pelajaran membaca, menulis, Al-Qur’an, masalah-masalah penting dalam agama dasar-dasar bahasa dan sedikit sastra.
2. Tingkat khusus, pada tingkat ini anak dipersiapkan untuk menuju suatu profesi yaitu mereka dilatih untuk melakukan praktek yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Karena jika hanya memiliki rasa ingin tahu saja belum cukup tetapi harus berlatih terus menerus. Disini Ibnu Sina hendak mengarahkan menuju profesi-profesi dan bakat-bakat yang sesuai dengan kemampuan dan cocok dengan kecenderungan-kecenderungan peserta didik.
3. Karya Tulis Ibnu Sina
Dengan melihat latar belakang pendidikan, karir dan latar belakang pemikirannya, maka sangat wajar bila banyak gagasan-gagasan dan pikiran-pikirannya dituangkan dalam bentuk sebuah karya tulis.
Berbagai tulisan Ibnu Sina menurut versi modern berjumlah 276 buah mencakup seluruh kajian filosofis, saintifik, kedokteran dan bahkan kebahasaan, karya-karya Ibnu Sina boleh dikatakan paling bernasional dan sistematik diantar semua karya berbahasa Arab, dan dalam skala yang lebih kecil berbahasa Persia. Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ulama yang amat produktif, buku karangannya hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan diantaranya adalah ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra Arab.
Untuk mengetahui jumlah yang agak pasti dari karangan Ibnu Sina itu agak sulit, namun peran yang dimainkan oleh seorang father dari Dominican di Kairo dalam bidang ini tidak dapat dilupakan begitu saja, dari hasil penyelidikannya terhadap karya tulis Ibnu Sina, ia mencatat sebanyak 270 buah, sementara Philip K. Hitti dengan memakai daftar yang di buat oleh Al-Qifli mengatakan bahwa karya tulis Ibnu Sina berjumlah sekitar 99 buah. Terjadinya perbedaan penghitungan ini kemungkinan disebabkan karena perbedaan tentang sedikit banyaknya data yang digunakan.
Sedangkan menurut Ibn Khalkan dalam Wafayat Ala’yan menyebutkan ada 100 buah karangan, Ibnu Ali Ushalbi’ah dalam Uyun Al-Anbiya’ mengejutkan ada 102 buah karangan dan Yahya Ibn Ahmad Al-Kasyi menyebutkan ada 92 kitab dan risalah.
Diantara karya-karya Ibnu Sina yang cukup terkenal diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Syifa, sebuah karya filsafat yang telah di Tahqiq oleh Juras Syahatah Qunwati, Said Zayad Dan Ibrahim Bayumi Madkur. Buku ini berjumlah 28 jilid meliput ilmu manthiq, kosmologi (ath-thabi’iyah), metafisika (ilahiyat) dan matematika (riyadhiyat). Dan ini merupakan karya terbesar dari Ibnu Sina yang telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia, termasuk bahasa latin.
2. Al-Najal, sebuah karya ringkasan filsafat dari al-syifa’ yang memuat tentang ilmu logika, kosmologi dan teologi buku ini juga diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia, termasuk latin.
3. Al-Isyarat Wa Al-Tanbihat, sebuah karya terakhir dari Ibnu Sina yang membahas tentang logika, kosmologi dan metafisika. Pandangan-pandangan Ibnu Sina dalam buku ini dianggap sebagai pendapatnya yang bersifat final. Puluhan filosofi dan teologi, Syiah dan Sunni, telah memberikan komentar (syark) atas buku ini, diantaranya adalah Fakhrud-Din Ar-Razi yang terdiri dari tiga jilid, dan Nasirud-Din Ath-Thusi.
4. Al-Qanun Fi Al-Thibb, sebuah karya dalam bidang kedokteran yang terdiri dari tiga jilid, isi buku ini menjelaskan tentang cara-cara pengobatan berbagai penyakit yang disebabkan oleh air dan tanah. Buku ini terbit di Roma pada tahun 1653 H.
5. Rasa’il Fi’al Hikmah Wa Ath-Thabi’iyat, sebuah karya dari Ibnu Sina yang terdiri dari delapan esai, yang berisi tentang kenabian, jiwa, ilmu-ilmu rasional, dan etika.
6. Al-Hashil Wa Al-Mahshul sebuah karya yang terdiri dari dua puluh jilid dan khusus dipersembahkan pada Abu Bakar Al-Barqi Diusia Muda.
7. Al-Himah Al-Arsyiyah sebuah karya yang hanya membahas satu bidang yakni filsafat yaitu Ilahiyat (teologi)
8. Ahwal Al-Nafs.
9. Tisa’ Rasial Fi Al-Himah Al-Thabi’yyah terbit di Istambul tahun 1298 H
10. Risalh Fi Ma’rifah Al-Nafs Al-Nathiqah Wa Ahwaliha, yang disiarkan oleh Muhammad Tasbit Al-Fandi, Di Kairo pada tahun 1934 M.
11. Yunu Al-Himah Di Tahqiq Oleh Abd Al –Rahman Badawi
12. Mabhats An Al-Quwa Al-Nafsaniyyah, diperkenalkan oleh Fandik
13. Asbab Huduts Al-Huruq, diterbitkan di Kairo pada tahun 1332 H.
14. Hay Ibn Yaqzhan diterbitkan di Kairo pada tahun 1809 H.
15. Risalah Al-Fayd Al-Ilah, sebuah karya lokal yang mencoba mendeskripsikan tentang photograpy (ilmu gambar atau photo)
16. At-Ta’liqhat Ala Hawasyi Kita Al-Nafs Li Aristhu (Aristoteles) di Tehqiq oleh Abd Al-Rahman Badawi (Kairo: Al-Haq’ah Al-Mishriyyah Al-Ammah Li Al Kitab, 1973 M)
17. Al-Qashidah Al-Ayniyah Fi Al-Nafs, sebuah karya komentar terhadap al-Manawi, pada tahun 1381 H
18. Kitab Al-Siyasah, sebuah karya yang membahas tentang perhatian terhadap pendidikan anak usia dini, buku ini diperkenalkan dan diedit oleh Bulas Ma’luf Al-Yasu’i.
19. Manthiq Al-Mashriqiyyin, ditebitkan di Kairo oleh Al-Maktabah Al-Salafiyah pada tahun 1910 M
20. Fi Aqsam Ulum Al-Aqliyyah sebuah karya yang membahas tentang logika dan fisika.
21. Al-Himah Al-Marsyriqiyah.
22. Risalah Ath-Thayr, esai sastra sufistik tentang perjalanan hidup dan kematian
23. At-Ta’liqat
24. Kitab Fi An-Nihayah Wa Al-La-Mihayah
25. Lisan Al-Arab, sebuah karya yang membahas tentang sastra Arab, yang terdiri dari sepuluh jilid, buku ini disusun sebagai jawaban terhadap tantangan dari seorang pujangga sastra yang bernama Abu Mansur Al-Jubba’i dihadapan Amir ‘Ala Ad-Daulah Di Isfahan.
26. Al-Isaquji, sebuah karya dalam bidang logika.
B. Konsep Pendidikan Berbasis Mutu Menurut Ibnu Sina
Pemikiran Ibnu Sina dalam peningkatan mutu pendidikan islam antara lain berkenaan dengan tujuan pendidikan, kurikulum, metode pengajaran dan guru. Untuk lebih jelasnya akan dikemukakan sebagai berikut.
1. Tujuan Pendidikan islam.
Menurut Ibnu Sina, bahwa tujuan pendidikan harus di arahkan pada pengembangan seluruh potensi yang di miliki seseorang ke arah perkembangan yang sempurna. Yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
Sedangkan tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Sina adakah untuk membentuk manusia yang berkepribadian akhlak mulia. Ukuran berakhlak mulia dijabarkan secara luas yang meliputi segala aspek kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang syarat terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial dan spiritual, ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif.
Tujuan pembinaan moral melalui pendidikan sangat penting menurut pandangan Ibnu Sina, hal ini dapat dilakukan dengan cara seorang anak harus dijaga dalam menentang manusia yang buruk dan memiliki budi pekerti yang buruk mereka juga harus diberikan peluang yang memungkinkan untuk dapat memahami dan merasakan kehidupan dengan cara berkomunikasi dengan orang-orang yang salih.
Orang yang memiliki akhlak mulia akan dapat mencapai kebahagiaan (sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina, dapat diperoleh secara bertahap. Mula-mula kebahagiaan secara individu dan kebahagiaan ini akan tercapai jika individu memiliki akhlak yang mulia. Jika setiap individu yang menjadi anggota rumah tangga memiliki akhlak mulia, maka tercapai pula kebahagiaan rumah tangga. Jika masing-masing rumah tangga berpegang pada prinsip akhlak mulia, maka tercapailah kebahagiaan dalam masyarakat dan bahkan manusia secara keseluruhan.
Untuk terciptanya sosok manusia yang berakhlak, maka harus dimulai dari dirinya sendiri, serta ditunjang kesehatan jasmani dan rohani. Bila kondisi ini dimiliki, maka manusia akan mampu menjalankan proses muamalah dengan teman pergaulan dan lingkungannya, serta mampu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan pad akhirnya mampu melakukan ma’rifat kepada Allah. Kondisi yang demikian merupakan puncak dari tujuan pendidikan manusia.
Mengenai pendidikan yang bersifat jasmani, Ibnu Sina mengatakan hendaknya tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik dan segala suatu yang berkaitan dengannya, seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Melalui pendidikan jasmani atau olah raga, seorang anak diarahkan agar terbina pertumbuhan fisiknya dan cerdas otaknya. Sedangkan pendidikan budi pekerti diharapkan seorang anak memiliki kebiasaan bersopan santun dalam pergaulan hidup sehari-hari. Dan dengan pendidikan kesenian seorang anak diharapkan dapat mempertajam perasaannya dan meningkat daya khayalnya.
Selain itu Ibnu Sina juga mengemukakan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan yang ditujukan pada pendidikan bidang pertanyaan, penyablonan. Sehingga akan muncul tenaga-tenaga pekerja profesional yang mampu mengerjakan pekerjaan secara profesional. Pendidikan keterampilan ini bertujuan untuk mempersiapkan anak dalam mencari penghidupannya, dalam hal ini Ibnu Sina mengintegrasikan antara nilai-nilai idealitas dengan pandangan pramatis, sebagaimana dia katakan : jika anak sudah selesai belajar Al-Qur’an dan menghapal dasar-dasar gramatika, saat itu amatilah apa yang ia inginkan mengenai pekerjaan, maka arahkanlah ke arah itu. Oleh karena itu hendaknya mereka mengarahkan pendidikan anak-anak kepada apa yang menjadikan mereka baik lalu menuangkan pengetahuan mereka pada prinsip yang ditetapkan yang bersifat khusus.
Jika beberapa pendapat Ibnu Sina mengenai tujuan-tujuan pendidikan tersebut dihubungkan dengan satu dan lainnya, maka akan tampak bahwa Ibnu Sina memiliki pandangan tentang tujuan pendidikan yang bersifat hirarkis-struktural, yaitu bahwa ia memiliki pendapat tentang tujuan yang bersifat universal. Juga memiliki pendapat tentang tujuan yang bersifat kurikuler atau perbidang studi dan tujuan yang bersifat operasional.
Selain itu tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina tersebut tampak didasarkan pada pandangannya tentang insan kamil (manusia yang sempurna). Yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh, Ibnu Sina juga ingin tujuan pendidikan universal itu diarahkan kepada terbentuknya manusia yang sempurna.
Ibnu Sina memandang, bahwa yang sangat penting dilakukan dalam sistem dunia pendidikan adalah meneliti tingkat kecerdasan, karakteristik dan bakat-bakat yang dimiliki anak, dan memeliharanya dalam rangka menentukan pilihan yang disenangi untuk masa yang akan datang. Jika anak suka mempelajari suatu ilmu secara intelektual dan ilmiah, maka tunjukkan dan arahkan pada hal tersebut, dan berilah kesempatan untuk mempelajari suatu ilmu yang di inginkan. Setiap anak atau murid akan mudah mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang sesuai dengan bakatnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Sina melalui perkataannya sebagai berikut :
وربمانا فر طباع الانسان جميع الأداب والصناعات، فلم يعلق منها شيك
"Barangkali tabiat manusia menjauh dari ilmu-ilmu sosial dan eksak, ilmu-ilmu ini tidak tergantung pada apapun."
Jika anak atau murid dengan mudah mencapai setiap ilmu yang di inginkan, maka anak dengan mudah pula menjadi ahli sastra, ahli ilmu eksak, dokter juga yang lainnya. Intinya yang sesuai dengan kecerdasan dan tingkat intelektualitas anak bersangkutan akan cepat berpengaruh dalam menentukan hasil atau tidaknya seseorang untuk meraih apa yang di inginkannya.
Ibnu Sina memandang bahwa tujuan pendidikan, terdiri dari dua bagian diantaranya adalah : pertama, Lahirnya insan kamil yaitu manusia yang terbina seluruh potensi dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Kedua, kurikulum yang memungkinkan berkembangnya seluruh potensi manusia, meliputi dimensi fisik, intelektual dan jiwa.
Rumusan tujuan pendidikan yang diformulasikan Ibnu Sina tampak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dan metafisisnya serta pengaruh sosial politik waktu itu. Namun demikian, ada dugaan kuat bahwa pengaruh tersebut justru puncak dari iman dan taqwa serta konsep ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian dalam rumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Sina itu sudah terkandung strategi yang mendasar mengenai dasar dan fungsi pendidikan. Yaitu bahwa pendidikan yang diberikan pada anak didik, selain harus dapat mengembangkan potensi dan bakat dirinya secara optimal dan menyeluruh, juga harus mampu menolong manusia agar eksis dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di masyarakat, dengan suatu keahlian yang dapat diandalkan.
Dengan tujuan ini Ibnu Sina tampak berusaha melakukan antisipasi dalam rangka membentuk manusia yang memiliki keahlian dan membendung lahirnya lulusan pendidikan yang tidak mampu bekerja di tengah-tengah masyarakat yang berakibat pada timbulnya pengangguran. Selain itu rumusan tujuan pendidikan yang di kemukakan Ibnu Sina tampak mencerminkan sikapnya yang selain sebagai seorang pemikir juga sebagai pekerja dan praktisi. Melalui tujuan pendidikan yang dirumuskan ini, ia tampak menghendaki agar orang lain meniru dirinya.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Secara sederhana istilah kurikulum digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Sejalan dengan pemikiran Crow dan Crow yang menyatakan bahwa kurikulum adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu.
Menurut Ibnu Sina kurikulum harus didasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik. Pada usia tiga sampai lima tahun perlu diberikan pelajaran olahraga, budi pekerti, dan kebersihan. Pelajaran olahraga atau gerak badan diarahkan untuk membina kesempurnaan pertumbuhan fisik si anak dan berfungsinya organ tubuh secara optimal. Sedangkan pelajaran budi pekerti diarahkan untuk membekali si anak memiliki ketajaman perasaan dalam mencintai serta meningkatkan daya khayalnya.
Mengenai pelajaran kebersihan, Ibnu Sina mengatakan, bahwa pelajaran hidup bersih dimulai dari sejak anak bangun tidur, ketika hendak makan, sampai ketika hendak tidur kembali. Dengan cara demikian, dapat diketahui mana saja anak yang telah dapat menerapkan hidup sehat dan mana saja anak yang berpenampilan kotor dan kurang sehat.
Mengenai mata pelajaran olahraga, Ibnu Sina memiliki pandangan yang banyak dipengaruhi oleh pandangan psikologisnya. Dalam hal ini Ibnu Sina menjelaskan tentang ketentuan dalam berolahraga yang disesuaikan dengan tingkat peran yang dapat diketahui dengan pasti mana saja diantara anak didik yang perlu diberikan pendidikan olahraga sederhana saja, dan mana saja diantara anak didik yang perlu dilatih berolah raga lebih banyak lagi. Ibnu Sina lebih lanjut memperinci tentang mana saja diantara olahraga yang memerlukan dukungan fisik yang kuat serta keahlian, dan mana saja olahraga yang tergolong ringan, cepat, lambat dan memerlukan peralatan. Semua jenis olahraga ini disesuaikan dengan kebutuhan si anak.
Dari sekian banyak olah raga, menurut Ibnu Sina yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah olah raga adu kekuatan, gulat, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan mengendarai unta. Selain itu ibnu sina juga membahas tentang olahraga yang berlaku umum dan olah raga yang berlaku khusus, serta olah raga yang berlaku untuk semua jenis kelamin dan usia.
Selain pelajaran di atas Ibnu Sina mengatakan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan anak maka bahan-bahan kurikulum tingkat awal yang diberikan adalah pengajaran Al-Qur’an, tapi dengan cara menghindarkan pengajaran yang bersifat memberatkan jasmani dan pikirannya. Dalam pengajaran Al-Qur’an, seorang peserta didik pada awalnya hendaklah diperkenalkan dengan huruf-huruf hijaiyah yang ditemukan dalam syair-syair. Setelah itu pendidik juga haus melakukan pengamatan apa yang menjadi minat dan bakat peserta didiknya. Hal ini menurut Ibnu Sina, merupakan esensi tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mengisi lapangan kerja yang ada dalam masyarakat.
Ibnu Sina mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan menjadi beberapa macam antara lain adalah sebagai berikut :
1) Jangan memulai pengajaran Al-Qur’an kepada anak melainkan setelah anak mencapai tingkat kematangan akal dan jasmaniah yang memungkinkan dapat menerima apa yang di ajarkan.
2) Mengintegrasikan antara Al-Qur’an dengan pengajaran huruf hijaiyah, yang memperkuat pandangan pendidikan modern saat ini yaitu dengan metode campuran antara metode analisis dan strukturalistis dalam mengajar membaca dan menulis (merupakan metode paling baru dalam pengajaran bahasa kepada anak-anak saat ini).
3) Pengajaran agama pada waktu tingkat kematangan yang mantap dimana menurut adat kebiasaan hidup keagamaan yang benar telah terbuka lebar sampai dapat menyerap ke dalam jiwanya dan mempengaruhi daya indrawi serta perasaannya.
4) Pelajaran syair, Ibnu Sina memandang pentingnya pelajaran syair ini sehingga syair itu menjadi sarana pendidikan perasaan. Pelajaran ini dimulai dengan mengajarkan syair-syair yang menceritakan anak-anak yang glamour, sebab hal ini lebih mudah dihafal dan menceritakannya serta bait-baitnya lebih pendek yang ingatannya lebih gampang diucapkan dan diungkapkan secara blak-blakan.
Ibnu Sina memilih jenis-jenis syair tertentu untuk diajarkanlah kepada anak-anak dan semua itu dilihat dari segi isi yang terkandung didalamnya, sehingga yang mereka pelajari adalah tentang keutamaan sastra dan kebudayaan, pujian kepada ilmu dan celaan kepada kebodohan serta segala hal yang mendorong berbuat kebaikan kepada kedua orang tuanya. Berbuat ma’ruf (kebajikan) dan menghormati tamu. Menurut Ibnu Sina bahwa seni atau sastra itu bertujuan untuk mengungkapkan perasaan manusia tentang keutamaan dalam berbagai coraknya.
5) Pengajaran yang diarahkan pada penulisan minat dan bakat pada masing-masing anak didik, sehingga mereka mampu menciptakan kreativitas belajar secara lebih mantap. Atas dasar kemampuan dan bakat inilah guru memilih pelajaran yang sesuai dengan tuntutan perkembangan hidupnya yang harmonis dan bermanfaat bagi dirinya serta lingkungan sekolah.
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia enam sampai empat belas tahun menurut Ibnu Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan mengkhafal Al-Qur’an, pelajaran agama, pelajaran syair dan pelajaran olah raga. Pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an menurut Ibnu Sina berguna disamping untuk mendukung pelaksanaan ibadah yang memerlukan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, juga untuk mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam. Seperti pelajaran tafsir al-Qur’an, fiqih, tuhid, akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber utamanya adalah Al-Qur’an.
Selain itu pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an juga mendukung keberhasilan dalam mempelajari bahasa Arab, karena dengan menguasai Al-Qur’an berarti ia telah menguasai kosa kata bahasa Arab atau bahasa Al-Qur’an. Dengan demikian penetapan pelajaran membaca tampak bersifat strategis dan mendasar. Baik dilihat dari segi pembinaan sebagai pribadi muslim, maupun dari segi pembentukan ilmuan muslim.
Yang menjadi fokus perhatian dari seluruh pemikiran filsafat pendidikan Ibnu Sina adalah pendidikan akhlak, ia berusaha mendidik anak dengan cara menumbuhkan kemampuan beragam yang benar, oleh karena itu pendidikan agama memang merupakan landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Ia menyatakan” jika anak berada di maktab (kuttab) bergaul dengan sesama yang berakhlak terjadi interaksi edukatif, satu sama lain, saling meniru dengan demikian ia menjadi dasar budinya”.
Ibnu Sina mengaitkan pendidikan agama sebagai alat pembentukan akhlak mulia dengan pengajaran syair-syair yang dapat memberikan pengaruh terhadap perbuatan baik dan yang dapat mendorong ke arah akhlak yang terpuji. Ibnu Sina sangat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, hal itu dikarenakan akhlak adalah sumber segala-galanya, semua dan kehidupan adalah bergantung pada akhlak (tak ada kehidupan tanpa akhlak). Itulah sebabnya, sejak zaman Yunani kuno dan sesudahnya, bahkan pada hidup kita ini, timbul perhatian besar terhadap nilai akhlak dalam kehidupan umat manusia, sehingga salah seorang ahli syair kenamaan (Ahmad Syauqi Bey) memperkokoh kedudukan akhlak dan keutamaannya dalam pembangunan bangsa seperti terlukis dalam bait syairnya :
رانما الا مم الا خلاق ما بقيت فإن هموذهبت اخلا قهمذهبوا
"Hanya saja suatu bangs itu berdiri tegak selama ia masih berakhlak namun jika akhlak mereka telah hilang maka bangsa itupun lenyap pula."
ولير بعامر بنيان قوم. اذااخلا قهم كانت خرابا
"Dan tidak mungkin suatu bangs membangun suatu bangunan, jika akhlak mereka mengalami keruntuhan."
Sejauh mana pengaruh akhlak terhadap kehidupan bangsa, masyarakat dan individu. Hal ini telah ditegaskan oleh firman Allah SWT. Dalam surat Al-Qalam ayat empat yang berbunyi sebagai berikut:
"Dan sesungguhnya engkau berakhlak tinggi." (QS. Al-Qalam: 04).
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia empat belas tahun ke atas amat banyak jumlahnya, namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat sianak, ia menunjukkan perlu adanya pertimbangan dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, si anak akan memiliki kesiapan untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada para pendidik agar memilihkan jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya.
Untuk anak usia empat belas tahun ke atas, maka pelajarannya dibagi menjadi dua yakni pelajaran yang bersifat teoritis dan praktis. Untuk mata pelajaran yang bersifat teoritis antara lain berkenaan dengan ilmu tentang materi dan bentuk, gerak dan perubahan, wujud dan kehancuran, tumbuh-tumbuhan, hewan, kedokteran, astrologi dan kimia yang secara keseluruhan tergolong ilmu fisika. Selanjutnya ilmu tentang ruang, bayang dan gerak, memikul beban, timbangan, pandangan dan cermin dan ilmu memindahkan air yang secara keseluruhan tergolong ilmu matematik. Selanjutnya terdapat pula ilmu tentang cara-cara turunnya wahyu, mukjizat, berita ghoib, ilham dan ilmu kekekalan ruh setelah berpisah dengan badan yang secara keseluruhan termasuk ilmu ketuhanan.
Sedangkan mata pelajaran yang bersifat praktis berkenaan dengan ilmu akhlak yang mengkaji tentang cara-cara pengurusan tingkah laku seseorang, ilmu pengurusan rumah tangga yaitu ilmu yang mengkaji hubungan antara suami dan istri, anak-anak, pengaturan keuangan dalam kehidupan rumah tangga, serta ilmu politik yang mengkaji tentang bagaimana hubungan antara rakyat dan pemerintah, kota dengan kota, bangsa dan bangsa. Selain itu Ibnu Sina juga membahas ilmu tentang cara menjual dagangan, membatik dan menenun.
Dalam pembahasan ilmu yang bersifat praktis ini, Ibnu Sina mengkaitkannya dengan berbagai tugas dan pekerjaan yang ada dalam kehidupan di rumah, masyarakat dan dunia pekerjaan atau profesi. Dengan ilmu yang bersifat praktis ini seseorang dapat dibantu dalam usaha mencari rizeki guna mewujudkan kesejahteraan hidupnya.
Dari uraian diatas, tampak bahwa konsep kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina memiliki tiga ciri diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Konsep kurikulum Ibnu Sina yang tidak hanya terbatas atas sekedar menyusun sejumlah mata pelajaran, melainkan juga disertai dengan penjelasan tentang tujuan dari mata pelajaran tersebut, dan kapan mata pelajaran itu harus diajarkan. Selain itu Ibnu Sina juga sangat mempertimbangkan aspek psikologis. Yakni bakat dan minat para siswa dalam menentukan keahlian yang akan dipilihnya dengan cara demikian seorang siswa akan merasa senang atau tidak terpaksa mempelajari suatu ilmu atau keahlian tertentu.
2) Strategi penyusutan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina juga didasarkan pada pemikiran yang bersifat pragmatis dan fungsional, yaitu dengan melihat segi kegunaan dari ilmu dan keterampilan yang dipelajari dengan tuntutan masyarakat atau berorientasi pasar (marketing oriented). Dengan cara demikian, setiap lulusan pendidikan akan siap difungsikan dalam berbagai lapangan pekerjaan yang ada dalam masyarakat.
3) Strategi pembentukan kurikulum Ibnu Sina tampak dipengaruhi oleh pengalaman yang terdapat dalam dirinya. Pengalaman pribadinya dalam mempelajari berbagai macam ilmu dan keterampilan ia coba tuangkan dalam konsep kurikulumnya. Dengan kata lain, ia menghendaki agar setiap orang yang mempelajari berbagai ilmu dan keahlian menempuh cara sebagaimana yang ia lakukan.
3. Metode Penddikan Islam
Konsep pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina antara lain terlihat pada setiap materi pelajaran. Dalam setiap pembahasan materi pelajaran, Ibnu Sina selalu membicarakan tentang cara mengajarkan kepada anak didik, berdasarkan pertimbangan psikologisnya, karena kedua materi pelajaran tertentu tidak akan dapat dijelaskan kepada bermacam-macam anak didik dengan satu cara saja, melainkan harus dicapai dengan berbagai cara sesuai dengan perkembangan psikologisnya.
Penyampaian suatu materi pada suatu anak harus disesuaikan dengan materi tersebut, sehingga antara materi dan metode akan terintegrasi. Adapun metode pengajaran yang ditawarkan oleh Ibnu Sina antara lain metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang serta penugasan.
Yang dimaksud dengan metode talqin adalah metode yang gunakan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an. Dimulai dengan cara memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada anak didik, sebagian demi sebagian. Setelah itu anak tersebut disuruh mendengarkan dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang, sehingga hafal. Metode talqin ini menurut Ibnu Sina dapat pula ditempuh dengan cara seorang guru meminta bantuan murid-muridnya yang sudah agak pandai untuk membimbing teman-temannya yang masih tertinggal. Cara seperti ini dalam pendidikan ilmu modern dikenal sebagai tutor sebaya, sebagaimana dikenal dalam pengajaran dalam modul.
Sedangkan mengenai metode demonstrasi menurut Ibnu Sina dapat digunakan dalam cara mengajar menulis. Menurutnya jika seorang guru akan mempergunakan metode tersebut, maka terlebih dahulu ia mencontohkan tulisan huruf hijaiyah. Setelah itu menyuruh pada murid untuk mendengarkan ucapan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhrajnya dan dilanjutkan dengan mendemonstrasikan cara menulisnya.
Adapun yang berkenaan dengan metode pembiasaan dan teladan, Ibnu Sina mengatakan bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak. Cara tersebut secara umum dilakukan dengan pembiasaan dan teladan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa si anak.
Selanjutnya metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat promblematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibnu Sina mempergunakan metode ini untuk mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoritis. Pengetahuan model ini pada masa Ibnu Sina berkembang pesat. Jika pengetahuan tersebut diajarkan dengan metode ceramah, maka para siswa akan tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam metode diskusi ini peserta didik ditekankan dan dibiarkan lebih tenang dengan temannya. Dengan demikian maka peserta didik dapat mengembangkan potensi dan nalar sosialnya.
Berkenaan dengan metode magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktek, yaitu suatu hari di ruang kelas untuk mempelajari teori dan hari berikutnya mempraktekkan teori di rumah sakit atau balai kesehatan. Metode ini akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu disamping mempermahir siswa dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis. Metode ini disebut juga dengan metode Learning By Doing (belajar sambil bekerja).
Selanjutnya berkenaan dengan metode penugasan atau penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar dalam bahasa Arab. Pengajaran dengan cara penugasan ini dikenal dengan istilah Al-Ta’lim Bi Al-Marasil (pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul). Dalam hubungan ini Ibnu Sina menyusun sejumlah modul atau naskah kemudian menyampaikannya pada muridnya untuk dipelajarinya. Cara ini antara lain ia lakukan pada seorang muridnya yang bernama Abu Ar-Raihan Al-Biruni dan Aba Husain Ahmad As-Suhaili.
Dari keseluruhan uraian mengenai metode pengajaran tersebut di atas terdapat empat ciri penting, diantaranya yang pertama adalah uraian tentang berbagai metode tersebut memperlihatkan tentang keinginan yang besar dari Ibnu Sina terhadap hasil pengajaran. Kedua, setiap metode yang ditawarkannya selalu dilihat dalam perspektif kesesuaiannya dalam bidang studi yang diajarkannya serta tingkat usia peserta didik. Ketiga, metode pengajaran yang ditawarkan Ibnu Sina juga selalu memperbaiki bakat dan minat si anak. Keempat, metode yang ditawarkan Ibnu Sina telah mencakup pengajaran yang menyeluruh mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan tingkat perguruan tinggi.

4. Guru Pendidikan Islam
Konsep guru yang ditawarkan Ibnu Sina antara lain berkisar tentang guru yang baik. Dalam hubungan ini Ibnu Sina mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama, mengetahui bagaimana cara mendidik akhlak cakap dalam mendidik anak, berpenampilan tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main dihadapan muridnya, tidak bermuka kusam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Selanjutnya Ibnu Sina menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, telit, sabar, telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa suka menghias diri. Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan umat dari pada kepentingan diri sendiri. Menjauhkan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang yang berakhlak rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat, berdiskusi dan bergaul.
Seorang guru harus memiliki jiwa keagamaan, kesalehan, kecerdasan, berani, tegas, hemat, bersih dan dapat menghormati manusia. Seorang guru harus mengetahui bagaimana cara hidup di masyarakat dan mengerti metode mengajar dan melatih budi pekerti anak. Seorang guru juga harus menjaga anak dalam menentang kebiasaan yang buruk dan perilaku yang jahat dan harus membaurkan atau melibatkan si anak dengan kelompok masyarakat yang baik. Ketika anak tersebut tumbuh berkembang, seorang guru harus membangun kecenderungannya kepada pekerjaan yang akan dijadikan keahliannya.
Sedangkan hal yang berkaitan dengan pemberian pelajaran, seorang guru hendaknya memberikan cara pengajaran yang pertengahan, seorang guru juga jangan menampilkan sikap yang menyebabkan anak didik tidak terdorong untuk mengajukan pertanyaan atau meminta menjelaskan sesuatu, dan tidak juga memberikan kesempatan kepada anak didik untuk menjadi anak yang kurang ajar dan tidak memberikan perhatian terhadap guru dan pelajaran.
Seorang guru harus mempelajari anak didik dengan hati-hati, melatih bakat, dan temperamennya dan mengetes kecerdasan yang memungkinkan ia dapat memilih keahlian dan pekerjaan yang memungkinkan ia dapat menggunakan bakat, pembawaan dan kecerdasan. Seorang anak juga jangan dibiarkan membaca semua masalah sendirian yang menyebabkan ia merasa tertekan dan tidak bahagia. Seorang guru harus banyak menyertai para siswa sepanjang dengan berhubungan penghormatan kepada keluarganya.
Ibnu Sina sangat menganjurkan sekali agar para pendidik dapat memahami minat dan menjadikannya dasar untuk membimbing dan mendidik mereka. Adapun kriteria guru yang baik menurut Ibnu Sina adalah guru yang memiliki wawasan keagamaan dan etika (Dza’din wa khuluq), kepribadian yang kokoh, kecerdasan dan retorika yang baik (Labib wa Huluw Al-Hadits) dan kegiatan dalam memilih metode yang pas bagi pendidikan anak serta mempunyai kompetensi profesional di dalam pembentukan kepribadian anak didik.
Seorang guru harus mampu memverifikasi soft skill yang layak dikonsumsi oleh anak didik. Kompetensi dasar anak didik kiranya harus menjadi orientasi pertama pelaksanaan proses pembelajaran atau pendidikan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina, ”sebaiknya guru ketika memilih materi pelajaran (ketrampilan dan keahlian) harus terlebih dahulu mementingkan tabi’at, mengukur atau menguji potensi, dan menguji kecerdasan si anak. Juga perlu dipertimbangkan apakah metode, alat dan strategi pembelajaran yang digunakan sudah sesuai ataukah belum, apakah semua itu mampu memobilisasi potensi anak didik ataukah tidak, apakah semua itu mendekatkan diri anak pada kesuksesan ataukah justru menjauhkannya”. Jadi ibnu sina sangat memperhatikan pentingnya kompetensi anak didik dalam pembelajaran atau pendidikan.
Namun, verifikasi kompetensi, anak didik tidak sepenuhnya tanggung jawab guru, orang tua juga bertanggung jawab untuk memilih program studi/ institusi pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan mendasar anak-anaknya. Dan yang paling penting untuk diperhatikan oleh orang tua adalah minat si anak tersebut.
Ibnu Sina mendeskripsikan keluarga itu seharusnya menjadi taman pendidikan pertama dan utama bagi anaknya. Karena itu, orang tua sebaiknya memahami apa yang sebetulnya dibutuhkan anak-anak mereka selain itu orang tua juga harus bisa menularkan nilai-nilai sosial seperti rasa belas kasih (Cofession) dan empati terhadap orang lain. Caranya adalah dengan melakukan sering atau berbagai pengalaman yang dapat dilakukan secara informal ataupun dengan cara bermain di rumah. Para orang tua seringkali salah dalam menilai atau mengawasi anak-anaknya, padahal langkah tersebut bukan membuat anak-anak bahagia karena diperhatikan orang tuanya. Sebaliknya, anak merasa terkekang sehingga malah menimbulkan sesuatu yang justru jauh dari harapan orang tuanya.
Adapun sekolah yang menyelengarakan pendidikan anak usia dini haruslah melibatkan partisipasi aktif agar orang tua tidak terkesan hanya menjadi panti penitipan anak, karena partisipasi aktif orang tua anak dan keterlibatan mereka dalam pertemuan-pertemuan disekolah mutlak dibutuhkan bagi kesinambungan pendidikan anak.
Untuk motivasi kemampuan peserta didik secara maksimal, maka pendidik harus bertindak secara taktis dan jangan sampai salah langkah. Pujian perlu diberikan guru untuk membangkitkan semangatnya, hukuman juga harus digunakan bila hal tersebut dipandang perlu. Diantara hukuman yang dimaksud adalah bisa berbentuk pukulan ataupun ancaman bila kondisinya mengijinkan. Begitu pula sikap pendidik, dia harus bersikap lemah lembut dan seperti orang tua terhadap anaknya sendiri. Namun bila keadaannya menghendaki, pendidik harus menggunakan cara lain yakni dengan pendekatan persuasif atau takhwif. Suatu saat pendidik dapat menunjukkan wajah muram dan marah, sebagai tanda tidak senang terhadap penyimpangan peserta didik terhadap akhlak mulia.
Jika diamati secara seksama, tampak bahwa potret guru yang dikehendaki oleh Ibnu Sina adalah guru yang lebih lengkap dari potret guru yang dikemukakan para ahli sebelumnya. Dalam pendapatnya itu, Ibnu Sina selain menekankan unsur kompetensi atau kecakapan dalam mengajar, juga berkepribadian yang baik. Dengan kompetensi itu, seorang guru dapat mencerdaskan anak didiknya dengan berbagai pengetahuan yang diajarkannya dengan akhlak ia akan dapat membina mental dan akhlak anak. Guru seperti itu, tampaknya diangkat dari sifat dan kepribadian yang terdapat pada Ibnu Sina sendiri yang selain mempunyai kompetensi akhlak yang baik, juga memiliki kecerdasan dan keluasan ilmu.
Selengkapnya...

Selasa, 27 Juli 2010

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU KHOLDUN

A. Sekilas Tentang Ibnu Kholdun
Berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
read more...
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari presentasi ensiklopedia ilmu pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan.Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional adalah pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami. Sedangkan pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan yang subjeknya, metodenya, dan hasilnya, serta perkembangan sejarahnya dibangun oleh kekuasaan atau seseorang yang berkuasa.
B. Konsep atau tujuan pendidikan
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.Pemikiran Ibnu Khaldun dalam hal pendidikan ia tuangkan dalam karya monumentalnya yang dikenal dengan sebutan Muqaddimah. Sebagai seorang filsuf muslim pemikirannya memanglah sangat rasional dan berpegang teguh pada logika. Corak ini menjadi pijakan dasar baginya dalam membangun konsep-konsep pendidikan. Menurutnya paling tidak ada tiga tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu peningkatan kecerdasan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena social yang ada disekitarnya.
C. Kurikulum dan Materi Pendidikan
Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Kurikulum pendidikan yang diajarkan kepada peserta didik dalam pemikiran Ibnu Khaldun meliputi tiga hal, yaitu: pertama, kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua, kurikulum sekunder yaitu matakuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika, dan matematika). Ketiga kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqh, Hadist, Tafsir, dan sebagainya).Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2.Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
D. Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.Kedua:Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.Ketiga:Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar. Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya.
E. Pendidik
Pendidik dalam pandangan Ibnu Khaldun haruslah orang yang berpengetahuan luas, dan mempunyai kepribadian yang baik. Karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya. Ibnu Kholdun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak menerapkan perilaku keras dan kasar, sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong, malas dan bicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut dimarahi guru atau takut dipukuli. Dalam hal ini, keteladanan guru yang merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Kholdun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan, dari pada yang dapat dipengaruhi oleh nasehat, pengajaran atau perintah-perintah.
F. Peserta didik
Sedangkan konsepnya mengenai peserta didik, bahwa peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik dengan potensi dan fitrah yang telah ada. Peserta didik ibarat wadah yang siap untuk di beri pengetahuan yang baru.
Selengkapnya...