Mengenai Saya

Foto saya
sumenep, sumenep jawa timur, Indonesia
enjoy, sopan dan siap bersaing

Selasa, 27 Juli 2010

MODEL PEMBELAJARAN ADVOKASI

A. Pengertian Model Pembelajaran Advokasi

Model Pembelajaran Advokasi merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student-centered advocacy learning) sering diidentikkan dengan proses debat. Pembelajaran advokasi dipandang sebagai suatu pendekatan alternatif terhadap pengajaran didaktis di dalam kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari isu-isu sosial dan personal melalui keterlibatan langsung dan partisipasi pribadi. Model pembelajaran advokasi menuntut para peserta didik terfokus pada topik yang telah ditentukan sebelumnya dan mengajukan pendapat yang bertalian dengan topik tersebut.
read more....

Jadi pada dasarnya model pembelajaran advokasi sangat berharga untuk meningkatkan pola pikir dan perenungan, terutama jika peserta didik dihadapkan mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan mereka sendiri. Hal ini juga merupakan pembelajaran debat yang secara aktif melibatkan setiap peserta didik di dalam kelas tidak hanya mereka yang berdebat.

13

B. Prinsip-prinsip Model Pembelajaran Advokasi

Belajar advokasi berdasarkan berbagai prinsip belajar yakni:

1) Ketika peserta didik terlibat langsung dalam penelitian dan penyajian debat, ke Aku-annya lebih banyak ikut serta dalam proses dibandingkan dengan situasi ceramah tradisional.

2) Proses debat meningkatkan minat dan motivasi belajar peserta didik karena hakikat debat itu sendiri.

3) Para peserta didik terfokus pada suatu isu yang berkenaan dengan diri mereka kadang-kadang yang berkenaan dengan masyarakat luas dan isu-isu sosial personal.

4) Pada umumnya peserta didik akan lebih banyak belajar mengenai topik-topik mereka dan topik-topik lainnya bila mereka dilibatkan langsung dalam pengalaman debat.

5) Proses debat memperkuat penyimpangan (retention) terhadap komponen-komponen dasar suatu isu dan prinsip-prinsip argumentasi efektif.

6) Belajar advokasi dapat digunakan baik belajar di sekolah dasar maupun belajar di sekolah lanjutan. Berdasarkan tingkatan peserta didik, model ini dapat diperluas atau disederhanakan pelaksanaannya.

7) Pendekatan intruksional belajar advokasi mengembangkan keterampilan-keterampilan dalam logika, pemecahan masalah, berfikir kritis, serta komunikasi lisan maupun tulisan. Selain dari itu, model belajar ini akan mengembangkan aspek afektif, seperti konsep diri, rasa kemandirian, turut memperkaya sumber-sumber komunikasi antar pribadi secara efektif, meningkatkan rasa percaya diri untuk mengemukakan pendapat, serta melakukan analisis secara kritis terhadap bahan dan gagasan yang muncul dalam debat.[1]

C. Pelaksanaan Belajar Berdasarkan Advokasi

Adapun langkah-langkah dasar pelaksanaan advokasi dalam proses belajar mengajar sebagai berikut:

a. Memilih suatu topik debat berdasarkan pertimbangan aspek kebermaknaannya, tingkatan peserta didik, relevansinya dengan kurikulum, dan minat para peserta didik.

b. Memilih dua regu debat, masing-masing dua peserta didik tiap regu untuk tiap topik dan menjelaskan fungsi tiap regu kepada kelas.

c. Menyediakan petunjuk dan asistensi kepada peserta didik untuk membantuk menyiapkan debat.

d. Dalam pelaksanaan debat, para audience melakukan fungsi observasi khusus selama berlangsungnya debat.[2]

e. Setelah semua peserta didik mendengarkan argumen pembuka, hentikan debat dan suru mereka kembali ke sub kelompok awal mereka. Perintahkan sub-sub kelompok untuk menyusun strategi dalam rangka mengkonter argumen pembuka dari pihak lawan. Sekali lagi, perintahkan sub kelompok memilih juru bicara, akan lebih baik bila menggunakan orang baru.

f. Perintahkan para juru bicara yang duduk berhadap-hadapan untuk memberikan argumentasi tandingan. Dan ketika debat berlanjut (pastikan untuk menyelang-nyeling antara kedua belah pihak), anjurkan peserta lain untuk memberikan catatan yang memuat argumen tandingan atau bantahan kepada pendebat mereka. Juga, anjurkan mereka untuk memberi tepuk tangan atas argumen yang disampaikan oleh perwakilan tim debat mereka.

g. Pada saat debat berakhir, usahakan agar tidak menyebut pemenangnya, dan perintahkan peserta didik untuk kembali berkumpul membentuk satu lingkaran. Pastikan untuk mengumpulkan peserta didik dengan duduk bersebelahan dengan peserta didik yang berasal dari peihak lawan debatnya. Lakukan diskusi dalam satu kelas penuh tentang apa yang didapatkan oleh peserta didik dari persoalan yang telah diperdebatkan. Juga perintahkan peserta didik utuk mengenali apa yang menurut mereka merupakan argumen terbaik yang dikemukakan oleh kedua belah pihak.[3]

Dalam proses debat terdapat dua regu, yakni regu yang mendukung suatu kebijakan (affirmative) dan regu lawannya ialah regu oposisi (negatif). Masing-masing regu menyampaikan pandangan/ pendapatnya disertai dengan argumentasi, bukti, dan berbagai landasan, serta menunjukkan bahwa pandangan pihak lawannya memiliki kelemahan, sedangkan pendapat regunya sendiri adalah yang terbaik. Tiap regu berupaya menyakinkan kepada pengamat, bahwa pandangan/pendapat regunya paling baik dan harus diterima. Jadi, tiap regu bertanggung jawab secara menyeluruh atas posisi regunya, disamping adanya tanggung jawab dari setiap anggota regu.

Disamping itu masing-masing regu mempunyai peranan yang berbeda-beda saat debat berlangsung dalam proses belajar mengajar. Adapun peranan tersebut digambarkan sebagai berikut :

a. Peranan Regu Pendukung

Esesnsi regu pendukung (affirmative) adalah menyatakan “ya“ terhadap proposisi. Pendukung menghendaki perubahan dari status quo dan merekomendasikan suatu kebijakan untuk diapdosikan. Tanggung jawab dari regu pendukung ialah mengklarifikasi makna proposisi dengan cara mendefinisikan istilah-istilah yang samar-samar atau belum jelas, sedangkan istilah yang sudah dipahami tidak perlu didefinisikan.

Tanggung jawab berikutnya adalah menyajikan prima fasie case bagi posisi mereka. Pada awal pembicaraan atau penampilan pihak pendukung menyajikan berbagai alasan dan memberikan bukti-bukti sehingga perubahan sangat dibutuhkan. prima fasie case ini pada gilirannya merangsang kegiatan debat selanjutnya, jika tidak maka berarti kelompok dianggap menang dan debat berakhir.

Pada waktu menyampaikan prima fasie case, pendukung perlu mengisolasikan isu-isu, merumuskannya menjadi masalah yang dipertentangkan, dan kemudian mensubtansikan masalah tersebut dengan bukti dan logika. Suatu isu dalam debat merupakan suatu pertanyaan pokok tentang fakta atau teori yang akan membantu menetapkan keputusan akhir. Isu-isu tersebut adalah esensial untuk proposisi tergantung pada keputusan yang dibuat. Namun, suatu isu bukan semata-semata suatu pertanyaan melainkan suatu yang mengandung ketidaksetujuan dan bersifat krusial.

b. Peranan Regu Penentang (oposisi)

Regu penentang (negative team) menentang proposisi atas dasar sistem yang ada sekarang adalah adekuat dan efektif. Secara esensial mereka berkata “tidak“ terhadap resolusi yang diajukan oleh kelompok lawannya.

Tidak ada kebutuhan untuk mengadopsi usul yang diusulkan oleh regu pendukung. Mereka mempertahankan sistem sekarang (status quo), menolak kebutuhan yang diutarakan oleh regu pendukung, menolak rencana yang diusulkan karena tidak dapat dilaksanakan dan tidak diinginkan.[4]

B. Tinjauan Tentang Hasil Belajar Sejarah Kebudayaan Islam

a. Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh peserta didik setelah melalui kegiatan belajar mengajar. Belajar itu sendiri adalah suatu proses dalam seseorang yang berusaha memperoleh sesuatu dalam bentuk perubahan tingkah laku yang relatif menetap. Dalam hal ini penekanan hasil belajar adalah terjadinya perubahan dari hasil masukan pribadi berupa motivasi dan harapan untuk berhasil dan masukan dari lingkungan berupa rancangan dan pengelolaan motivasional tidak berpengaruh langsung terhadap besarnya usaha yang dicurahkan oleh peserta didik untuk mencapai tujuan belajar. Perubahan itu terjadi pada seseorang dalam disposisi atau kecakapan manusia yang berupa penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dilakukan dalam suatu waktu tertentu atau dalam waktu yang relative lama dan bukan merupakan proses pertumbuhan. Suatu proses yang dilakukan dengan usaha dan disengaja untuk mencapai suatu perubahan tingkah laku. Dan perubahan tingkah laku itu sendiri dinamakan hasil belajar.[5]

Beberapa pakar pendidikan mendefinisikan belajar sebagaimana penulis uraikan dibawah ini;

1) Menurut pandangan tradisional, belajar sekedar diartikan sebagai usaha memperoleh dan mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan, atau belajar adalah usaha mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman. Jadi belajar semata-mata diartikan sebagai suatu usaha yang bersifat intelektual saja. Jika yang dikumpulkan seseorang sudah banyak, praktis ia menjadi pandai. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya kepada anak harus diberi berbagai mata pelajaran sebanyak mungkin untuk menambah pengetahuannya, semata-mata bersifat intelektual. Aspek-aspek lain walau juga berperanan dalam pembentukan keperibadian seseorang tidak disinggung, atau mungkin tidak perlu diajarkan.

2) Kimble dan Garmezy menurutnya, belajar adalah suatu kecendrungan dalam mengubah tingkah laku yang secara relatif bersifat permanent dan sebagai hasil dari praktik yang bersifat menguatkan.[6]

3) Berdasarkan pengertian belajar yang populer saat ini bahwa, belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuaan melalui pengalaman (learning is defined as the modification of strengthening of behavior through experencing). Jadi belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami.[7]

4) Belajar adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi atau situasi-situasi di sekitar kita. Dalam menyesuaikan diri diri itu termasuk mendapatkan kecekatan- kecekatan, pengertian-pengertian yang baru dan sikap-sikap yang baru. Pandangan ini pada umumnya dikemukakan oleh para pengikut aliran behaviorisme.

5) Menurut aliran psikologi Gestalt, belajar adalah suatu proses aktif, yang dimaksud aktif disini ialah, bukan hanya aktivitas yang tampak seperti gerakan-gerakan badan, akan tetapi juga aktivitas- aktivitas mental, seperti proses berfikir, mengingat, dan sebagainya.

6) Menurut Ernest R. Hilgard, learning is the process by which an activity priginates or is change trough responding a situation. Jadi belajar adalah suatu aktivitas atau yang mengubah suatu aktivitas dengan perantaraan tanggapan kepada suatu situasi.[8]

7) James.O. Withaker mendefinisikan belajar sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman, disamping itu juga diartikan sebagai proses sebagian tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui proses latihan.[9]

Dari definisi-definisi belajar di atas, dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang penting yang mencirikan pengertian belajar, yaitu;

a) Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

b) Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap hasil belajar; seperti perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang bayi.

c) Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu hasus relatif mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lama periode waktu itu berlangsung sulit untuk ditentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun.

d) Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek keperibadian, baik fisik maupun psikis.[10]

Jadi pada dasarnya belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata, proses itu terjadi di dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

b. Jenis-jenis Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan prestasi atau kinerja akademik yang dinyatakan dengan skor atau nilai, pada prinsipnya pengungkapannya hasil belajar ideal itu meliputi segenap ranah psikologis yang berupa akibat pengalaman dan proses belajar.

Dalam tujuan pendidikan yang ingin dicapai kategori dalam bidang ini yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, ketiga aspek ranah tersebut tidak dapat dipisahkan karena sebagai tujuan yang hendak dicapai. Dengan kata lain tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh peserta didik dalam mencapai tiga aspek tersebut, dan ketiganya adalah pokok hasil belajar, menurut “Taksonomi Bloom” diklasifikasikan pada tiga domain, yaitu sebagai berikut:

1) Jenis hasil belajar pada bidang kognitif

Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang bersinonim dengan kata kowing yang berarti pengetahuan, dalam arti luas kognisi adalah prolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.[11] Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi popular sebagai salah satu domain atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap prilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.

Dengan demikian hasil belajar dalam aspek kognitif tinggi maka dia akan mudah untuk berfikir sehingga ia akan mudah memahami dan menyakini materi-materi pelajaran yang diberikan kepadanya serta mampu menangkap pelan-pelan moral dan nilai-nilai yang terkandung di dalam materi tersebut. Sebaliknya, jika hasil belajar kognitif rendah maka ia akan kesulitan untuk memahami materi tersebut untuk diinternalisasikan dalam dirinya dan diwujudkan dalam perbuatannya.

Jenis hasil belajar aspek kognitif ini meliputi enam kemampuan atau kecakapan antara lain:

a) Pengetahuan (knowladge)

Adalah kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat kembali (recall) atau mengenali kembali tentang nama, istilah, ide, gejala, rumus-rumus dan sebagainya.

b) Pemahaman (comprehension)

Adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahmi sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan di ingat.

c) Penerapan atau aplikasi (aplication)

Adalah kesanggupan seseorang untuk menerangkan atau menggunakan ide-ide umum, tata cara, ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam situasi yang kongrit.

d) Analisis (analysis)

Adalah kemampuan seseorang untuk merinci atau menguraikan suatu bahan atau keadaan menurut bagian-bagian dan faktor-faktor yang satu dengan faktor yang lainnya.

e) Sintesis (syntesis)

Adalah suatu proses yang memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logis sehingga menjadi suatu pola yang berstruktur atau berbentuk pola baru.

f) Penilaian atau evaluasi (evaluation)

Adalah kemampuan seseorang untuk membuat pertimbangan terhadap situasi, nilai atau ide atau kemampuan untuk mengambil keputusan (menentukan nilai) sesuatu yang dipelajari untuk tujuan tertentu.[12]

2) Jenis hasil belajar pada bidang afektif

Aspek afektif berkenaan dengan perubahan sikap dengan hasil belajar dalam aspek ini diperoleh melalui internalisasi, yaitu suatu proses kearah pertumbuhan bathiniyah atau rohaniyah peserta didik, pertumbuhan terjadi ketika peserta didik menyadari suatu hasil yang terkandung dalam pengajaran agama, dan nilai-nilai itu dijadikan suatu nilai sistem diri “nilai diri” sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perubahan untuk menjalani kehidupan.

Adapun beberapa jenis kategori jenis afektif sebagai hasil belajar adalah sebagai berikut:

a) Manerima (receiving)

Yaitu semacam kepekaan dalam menerima rancangan (stimuli) dari luar yang datang dari peserta didik, baik dalam bentuk masalah situasi, gejalah, dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, kontrol dan gejalah atau ransangan dari luar.

b) Jawaban (responding)

Yaitu reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulisasi yang datang dari luar, dalam hal ini termasuk ketetapan reaksi, perasaan, kepuasan dan menujawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.

c) Penilaian (valuing)

yaitu berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejalah atau stimulus tadi, dalam evaluasi ini termasuk didalamnya kesediaan menerima nilai tersebut.

d) Organisasi (organization)

Yaitu pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya, yamg termasuk dalam organisasi ialah konsep nilai, organisasi dari pada sistem nilai.

e) Karakteristik (characterization)

Yaitu keterpaduan dan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola keperibadian, tingkah lakunya, disini termasuk nilai karakteristiknya.[13]

3) Jenis hasil belajar pada bidang psikomotorik

Aspek psikomotorik berhubungan dengan keterampilan yang bersifat fa’aliyah kongrit, walaupun dengan demikian hal itupun tidak terlepas dari kegiatan belajar yang bersifat mental (pengetahuan dari sikap), hasil belajar dari aspek ini adalah merupakan tingkah laku yang dapat diamati.

Adapun mengenai tujuan dari psikomotorik yang dikembangkan oleh Simpson (1966-1967) sebagai berikut:

a) Persepsi

Yaitu penggunaan lima panca indra untuk memperoleh kesadaran dalam menerjemahkan menjadi sebuah tindakan.

b) Kesiapan

Yaitu keadaan sikap untuk merespon secara mental, fisik, dan emosional.

c) Respon terbimbing

Yaitu mengembangkan kemampuan dalam aktifitas mencatat dan membuat laporan.

d) Mekanisme

Yaitu respon fisik yang telah dipelajari menjadi kebiasaan.

e) Adaptasi

Yaitu mengubah respon dalam stimulasi yang baru.

f) Organisasi

Yakni menciptakan tindakan-tindakan baru.[14]

Sedangkan menurut Gagne, hasil belajar dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori. Adapun lima kategori tersebut sebagai berikut:

1. Keterampilan intelektual (intellectual skill)

Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang membuat seseorang berkompeten, yang memungkinkan untuk menanggapi konseptualisasi lingkungannya. Keterampilan intelektual berkaitan dengan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu aktivitas. Ada empat sub kategori hasil belajar yang merupakan keterampilan intelektuan ini yang disusun secara bertahap, dari yang paling sederhana ke yang lebih kompleks.

Adapun keempat kategori keterampilan intelektual tersebut meliputi:

a) Membedakan (discrimination)

Yaitu kemampuan peserta didik untuk membedakan benda-benda atau simbol-simbol, misalnya membedakan huruf-huruf, pengarang-pengarang angkatan tertentu, dan sebagainya.

b) Konsep (consepts)

Yaitu kemampuan peserta didik untuk mendefinisikan dan mempergunakan dengan betul konsep-konsep tentang suatu hal.

c) Aturan (rules)

Yaitu kemampuan yang memungkinkan peserta didik berbuat sesuatu dengan mempergunakan symbol dan dapat mengikuti aturan itu dalam penampilanya.

d) Aturan tingkat tinggi (higher-order rules)

Yaitu merupakan gabungan dari keterampilan-keterampilan sebelumnya yang diperlukan untuk memecahkan masalah.

2. Strategi kognitif (cognitive trastegies)

Strategi kognitif merupakan kecakapan khusus yang amat penting yang memungkinkan peserta didik belajar dan menentukan sesuatu secara sendiri. Ia merupakan suatu kemampuan yang diatur secara internal yang berperan mengatur, membimbing, dan menentukan sesuatu yang akan dilakukan oleh individu yang sedang belajar seperti membaca, memahami, berfikir, dan sebagainya. Strategi kognitif merupakan kemampuan yang mengatur seseorang untuk memilih “ cara”, misalnya belajar bagai belajar, yang paling cocok untuk dirinya sendiri.

3. Informasi verbal (verbal information)

Informasi verbal adalah hasil belajar yang berupa informasi dan pengetahuan verbal. Informasi itu dapat dibedakan kedalam fakta, nama, prinsip dan generalisasi. Informasi merupak esensi suatu peristiwa yang dapat dijadikan alat berfikir dan sebagai dasar untuk belajar lebih lanjut. Kemampuan informasi dapat ditunjukkan dengan menyatakan atau menyebutkan informasi itu dalam ungkapan yang bermakna.

4. Keterampilan motor (motor skill)

Keterampilan motor adalah hasil belajar yang berkitan gerak otot seperti mengucapkan lafal-lafal bahasa, berdeklamasi, mengetik, dan sebagainya. Keterampilan motor kadang-kadang merupakan prasyarat yang perlu dikuasai untuk dapat melakukan atau mempelajari sesuatu yang lain.

5. Sikap (attitudes)

Sikap merupakan sejumlah bentuk hasil belajar tersendiri yang sering dikaitkan dengan nilai-nilain toleransi, suka membaca, mencitai sastra, kesediaan bertanggung jawab, dan sebagainya.

Pengaruh sikap terhadap seseorang adalah adanya reaksi positif dan negatif kepada orang lain, benda, atau situasi.[15]

c. Transfer Hasil Belajar

Hasil belajar dalam kelas harus dapat dilaksanakan ke dalam situasi-situasi di luar sekolah. Dengan kata lain, peserta didik dapat mentransfer hasil belajar tersebut ke dalam situasi-situasi yang sesungguhnya di dalam masyarakat.

Tentang transfer hasil belajar dalam situasi yang sesungguhnya, setidak-tidaknya ada tiga teori, yaitu:

a) Teori disiplin formal (the formal discipline theory)

Teori ini menyatakan, bahwa sikap, pertimbangan, ingatan, imajinasi, dan sebagainya dapat diperkuat melalui latihan-latihan akademis. Mata pelajaran-mata pelajaran seperti geometri, bahasa latin sangat penting dalam melatih daya piker seseorang. Dengan demikia pula halnya dengan daya piker kritis, ingatan, pengalaman, pengamatan, dan sebagainya dapat dikembangkan melalui latihan-latihan akademis.

b) Teori unsur-unsur yang identik (the identical elements theory)

Transfer terjadi apabila diantara dua situasi atau atau dua kegiatan terdapat unsur-unsur yang bersamaan (identik). Latihan ini dalam satu situasi mempengaruhi perbuatan, tingkah laku dalam situasi yang lainnya. Teori ini banyak digunakan dalam kursus latihan jabatan, dimana kepada peserta didik diberikan respon-respon yang diharapkan diterapkan dalam situasi kehidupan yang sebenarnya. Banyak para psikologi, benyak menekankan kepada persepsi para peserta didik terhadap unsur-unsur yang identik ini.

c) Teori genaralisasi (the generalization theory)

Teori ini merupakan revisi terhadap teori unsur-unsur yang identik. Tetapi generalisasi menekankan kepada kompleksitas dari apa yang dipelajari. Internalisasi daripada pengertian-pengertian, keterampilan, sikap dan apresiasi dapat mempengaruhi kelakua seseorang. Teori ini menekankan kepada pembentukan pengertian (concept formation) yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman lain. Transfer terjadi apabila peserta didik menguasai pengertian-pengertian umum untuk kesimpulan-kesimpulan umum.[16]

d. Indikator Hasil Belajar

Indikator yang dijadikan tolak ukur dalam meyatakan bahwa suatu proses belajar mengajar dikatakan berhasil, berdasarkan ketentuan kurikulum yang disempurnakan, dan yang saat ini digunakan adalah:

1) Daya serap terhadap bahan pelajaran yang telaj diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok.

2) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran atau intruksional khusus (TIK) setelah dicapai peserta didik baik secara individu maupun secara kelompok.[17]

Demikian dua macam tolak ukur yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan tingkat keberhasilan proses belajar mengajar. Namun yang banyak dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan dari keduanya ialah daya serap peserta didik terhadap pelajaran.

e. Tingkat keberhasilan

Setiap proses belajar mengajar salalu menghasilkan hasil belajar, masalah yang dihadapi ialah samapi tingkat mana hasil belajar yang telah dicapai, sehubungan dengan hal ini keberhasilan belajar dibagi menjadi beberapa tingkatan atau taraf, antara lain sebagai berikut:

1) Istimewa/maksimal : apabila seluruh bahan pelajaran yang telah

diajarkan dapat dikuasai oleh peserta didik.

2) Baik sekali/optimal : apabilah sebagian besar (76% - 99%) bahan

pelajaran yang telah dipelajari dapat dikuasai peserta didik.

3) Baik/minimal : apabila bahan pelajaran yang diajarkan hanya

(60% - 75%) dikuasai peserta didik.

4) Kurang : apabila bahan pelajaran yang telah diajarkan

kurang dari 60% yang dikuasai oleh peserta didik.[18]

Dengan melihat data yang terdapat dalam daya serap peserta didik dalam pelajaran dan presentasi hasil belajar peserta didik dalam mencapai TIK tersebut, dapat diketahui tingkat keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dilakukan peserta didik dan guru.

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar dari peserta didik dalam proses belajarnya. Faktor tersebut dapat bersumber pada dirinya atau di luar dirinya atau lingkungan.

1) Faktor-faktor dalam diri individu

Banyak faktor yang ada dalam diri individu atau si pelajar yang mempengaruhi usaha dan hasil belajarnya. Faktor-faktor tersebut menyangkut aspek jasmaniah maupun rohaniah dari peserta didik.

Aspek jasmaniah mencakup kondisi dan kesehatan jasmaniah peserta didik tersebut. Tiap orang memiliki kondisi fisik yang berbeda, ada yang tahan belajar selama lima atau enam jam terus-menerus, tetapi ada juga yang hanya tahan satu dan dua jam saja. Kondisi fisik menyangkut pula kelengkapan dan kesehatan indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pencecapan. Indra yang paling penting dalam belajar adalah penglihatan dan pendengaran. Seseorang yang penglihatan atau pendengarannya kurang bai akan berpengaruh kurang baik pula terhadap usaha dan hasil belajarnya.kesehatan merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan belajar.

Aspek psikis atau rohaniah tidak kalah pentingnya dalam belajar dengan aspek jasmaniah. Aspek psikis menyangkut kondisi kesehatan psikis, kemampuan-kemampuan intelektual, sosial, psikomotor serta kondisi afektif dan konatif dari individu. Untuk kelancaran belajar bukan hanya dituntut kesehatan jasmaniah tetapi jugakesehatan rohaniah. Seseorang yang sehat rohaninya adalah orang yang terbebas dari tekanan-tekanan batin yang mendalam, gangguan-gangguan perasaan, frustasi, konflik psikis. Seseorang yang sehat rohaninya akan merasakan kebahagian, dapat bergaul dengan orang laindengan wajar, dapat mempercayai dan bekerjasama dengan orang lain, dan sebagainya.

Kondisi intelektual juga berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Kondisi intelektual ini menyangkut tingkat kecerdasan, bakat-bakat, baik bakat sekolah maupun bakat pekerjaan, juga penguasaan peserta didik akan pengetahuan atau pelajaran-pelajaran yang lalu.

Kondisi sosial menyangkut hubungan peserta didik dengan orang lain, baik guru dan temannya, orang tuanya maupun orang-orang yang lainnya. Seseorang yang memiliki kondisi hubungan yang wajar dengan orang-orang di sekitarnya akan memiliki ketentraman hidup, dalam hal ini akan mempengaruhi konsentrasi dan kegiatanbelajarnya. Sebaliknya seseorang yang mengalami kesulitan dalam hubungan social dengan temannya atau guru atau orang tuanya akan mengalamikecemasan, ketidaktentraman dan situasi ini akan mempengaruhi usaha belajarnya.

Hal lain yang ada pada diri individu atau peserta didik yang berpengaruh terhadap kondisi belajarnya adalah situasi efektif, selain ketenangan dan ketentaraman psikis juga motivasi untuk belajar. Belajar perlu didukung oleh motivasi yang kuat dan konstan. Motivasi yang lemah serta tidak konstan akan memnyebabkan kurangnya usaha belajar, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap hasil belajar.

Keberhasilan belajar peserta didik juga dipengaruhi oleh keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, seperti keterampilan membaca, berdiskusi, memecahkan masalah, mengerjakan tugas-tugas dll. Keterampilan-keterampilan tersebut merupakan hasil belajar sebelumnya.

2) Faktor-faktor lingkungan

Hasil belajar peserta didik juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar diri peserta didik, baik faktor fisik maupun sosial-psikologis yang berada pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan, memberikan landasan dasar bagi proses belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Faktor-faktor fisik dan sosial psikologis yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan peserta anak. Termasuk faktor dalam lingkungan keluarga adalah keadaan rumah dan ruangan tempat belajar, sarana dan prasarana belajar yang ada, suasana dalam rumah apakah tenang atau banyak kegaduhan, juga suasana lingkungan di sekitar rumah.

Suasana lingkungan rumah di sekitar pasar atau terminal atau tempat-tempat hiburan berbeda dengan di daerah khusus pemukiman. Suasana lingkungan rumah di lingkungan pemukiman yang padat dan kurang merata, juga berbada dengan dengan pemukiman yang jarang dan tertata.

Tak kalah pentingnya dengan lingkungan fisik adalah kondisi dan suasana social psikologis dalam keluarga. Kondisi dan suasana ini menyangkut keutuhan keluarga, iklim psikologis, iklim belajar dan hubungan antar anggota keluarga. Keluarga yang tidak utuh, baik secara struktural maupun fungsional, kurang memberikan dukungan positif terhadap perkembangan belajar. Ketidak utuhan dalam keluarga akan menimbulkan kurang seimbang baik dalam pelaksanaan tugas-tugas keluarga maupun dalam memikul beban social psikologis keluarga. Hal ini akan menimbulkan peserta didik kurang konsentrasi dalam belajar.

Iklim psikologis berkenaan dengan suasana efektif atau perasaan yang meliputi keluarga. Iklim psikologis yang sehat diwarnai oleh rasa sayang, saling mempercayai, keterbukaan, keakraban, rasaling memiliki dan sebebagainya antar anggota keluarga. Iklim psikologis yang sehat akan mendukung kelancaran dan keberhasilan belajar, sebab suasana yang demikian dapat memberikan ketenangan, kegembiraan, rasa percaya diri, dorongan untuk berprestasi.

Lingkungan sekolah juga memegang peranan penting bagi perkembangan belajar bagi peserta didik. Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik sekolah seperti sarana dan prasarana belajar yang ada, sumber-sumber belajar, media belajar dan sebagainya, lingkungan social yang menyangkut hubungan peserta didik dengan teman-temannya, guru-gurunya serta staf sekolah yang lain. Lingkungan sekolah juga menyangkut lingkungan akademis, yaitu suasana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, berbagai kegiatan kurikuler dan sebagainya.

Sekolah yang kaya denga aktivitas belajar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, terkelola dengan baik, diliputi suasana akademis yang wajar, akan sangat mendorong semangat belajar peserta didik.

Lingkungan masyarakat dimana peserta didik atau individu berada juga berpengaruh terhadap semangat dan aktivitas belajarnya. Lingkungan masyrakat dimana warganya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan sumber-sumber belajar didalamnya akan memberikan pengaruh yang posiif terhadap semangat dan perkembangan belajar generasi mudanya.[19]

A. Sejarah Kebudayaan Islam

a. Perlunya Belajar Sejarah

Kehidupan dan manusia diawal millenium ketiga ini mengalami banyak perubahan. Dalam merespon fenomena itu manusia berpacu mengembangkan pendidikan baik dibidang ilmu-ilmu sosial, ilmu alam, ilmu pasti maupun ilmu-ilmu terapan. Namun bersama dengan itu muncul sejumlah kritis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya krisis politik, ekonomi, sosial, hukum, agama, golongan dan ras, akhirnya peran serta efektifitas pembelajaran di madrasah sebagai pemberi nilai spiritual terhadap kehidupan beragama masyarakat dipertanyakan terkecuali sejarah kebudayaan Islam.[20]

b. Pengertian Sejarah Kebudayaan Islam

Istilah sejarah berasal dari kata arab “syajarah” yang berarti “pohon” pengambilan istilah ini agaknya berkaitan dengan kenyataan bahwa “sejarah” setidaknya dalam pandangan orng pertama yang menggunakan kata ini menyangkut tentang “ syajarah al-nasab”, pohon geologis yang dalam masa sekarang ini bisa disebut sejarah keluarga (family historis), tetapi selanjutnya “sejara” dipahami makna yang sama dengan “tarikh” (Arab), “istoria (Yunani), “history” (Inggris), atau “Gescithte” (Jerman), yang secara sederhana berarti kejadian-kejadian yang menyangkut manusia dimasa silam.

Sejarah kebudayaan Islam adalah sejarah politik kaum muslim, khususnya ditimur tengah, sejarah kebudayaan Islam adalah sejarah bangkit dan jatuhnya dinasti-dinasti muslim, lebih sempit lagi sejarah kebudayaan Islam adalah sejarah elit. Sejarah para penguasa muslim, pada sisi lain kebudayaan dipahami sebagai “kesenian” dengan demikian pembahasan tentang “kebudayaan” Islam berkisar tentang aspek-aspek kesenian Islam, sejak dari lukis, kaligrafi dan semacamnya.

Dengan demikian, sejarah kebudayaan Islam adalah munculnya citra yang tidak selalu akurat tentang Islam dan muslimin bahwa mereka lebih terlibat dalam pertarungan kekuasaan yang tak ada habis-habisnya. Padahal sejarah Islam semata-mata sejarah politik, sejarah politik hanyalah sebagian kecil dari sejarah Islam secara keseluruhan yang mencakup kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan (dan tradisi intelektual) dalam pengertian seluas-luasnya.[21]

c. Tujuan dan Fungsi Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

1) Tujuan

Adapun tujuan pembelajaran sejarah kebudayaan Islam di Madrasah Tsanawiyah sebagai berikut:

a. Memberi pengetahuan tentang sejarah agama Islam dan kebudayaan Islam kepada para peserta didik, agar memiliki data yang obyektif dan sistematis tentang sejarah.

b. Mengapresiasi dan mengambil ibrah (bukti) nilai dan makna yang terdapat dalam sejarah.

c. Menanamkan penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan nilai-nila Islam berdasarkan cermatan atas fakta sejarah yang ada.

d. Membekali peserta didik untuk membentuk keperibadian melalui imitasi terhadap tokoh-tokoh teladan sehingga terbentuk keperibadian yang luhur.

2) Fungsi

Pembelajaran sejarah kebuyaan Islam setidaknya memiliki tiga fungsi sebagai berikut:

a. Fungsi edukatif

Melalui sejarah peserta didik ditanamkan menegakkan nilai, prinsip hidup yang luhur dan Islami dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

b. Fungsi keilmuan

Peserta didik memperoleh pengetahuan yang memadai tentang masa lalu Islam dan kebudayaannya.

c. Fungsi transfomasi

Sejarah merupakan salah satu sumber yang sangat penting dalam rancang transformasi masyarakat.[22]

C. Pengaruh Model Pemebelajar Advokasi Terhadap Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan suatu bidang yang sangat menarik untuk dikaji namun cukup rumit sehingga menimbulkan berbagai perbedaan pandangan. Hasil belajar merupakan suatu hasil yang telah dicapai setelah mengalami proses belajar mengajar atau setelah mengalami interaksi dengan lingkungannya guna memperoleh ilmu pengetahuan dan akan menimbulkan perubahan tingkah laku yang relatif menetap dan tahan lama.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dikemukakan bahwa peningkatan hasil belajar pada anak sangatlah penting. Namun usaha kearah itu haruslah lewat jalan atau suatu model pembelajaran agar dapat merangsang kemampuan anak dan dapat membuat kombinasi baru, sebagaimana kemampuan untuk respon anak agar giat belajar, serta merangsang anak agar berfikir.

Mengingat pentingnya meningkatkan hasil belajar peserta didik tersebut, maka di sekolah perlu disusun suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kreatifitas berfikir kritis peserta didik sehingga dalam proses belajar mengajar lebih hidup dan bermakna dan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Model pembelajaran advokasi merupakan model pembelajaran alternatif untuk meningkatkan proses belajar peserta didik yang memberikan kesempatan kepada peserta didik utuk menjadi advokat dari suatu pendapat tertentu yang bertalian dengan topik yang tersedia. Peserta didik menggunakan keterampilan riset, keterampilan analisis, dan keterampilan berbicara dan juga mendengar, sebagaimana mereka berpartisipasi dalam kelas pengalaman advokasi. Dan peseta didik dihadapkan dengan isu-isu kontroversial dan harus mengembangkan suatu kasus untuk mendukung pendapat mereka di dalam perangkat untuk tujuan-tujuan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran advokasi adalah model pembelajar yang mana mengajak kepada peserta didik turut aktif dalam kegiatan pembelajaran. sehingga diharapkan dengan menggunakan metode advokasi dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.

[1] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), h. 228-229

[2] Ibid, h. 230

[3] Melvin L. Silberman, Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung : Nusamedia, 2006), h. 141

[4] Oemar Hamalik, op.cit, h.231

[5] H. Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal Dalam Kegiatan Pembelajaran, (Jakarta : 2004), Cet ke- 4, h.77-78

[6] Burhan Nurgiyantoro, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah, (Yogyakarta : BPFE, 1988), h. 58

[7] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 36

[8] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), h. 208

[9] Dewi Ketut Sukardi, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), h. 17

[10] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 85

[11] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta :PT Raja Grafindo persada, 2009), h. 22

[12] Anas Sudijono, Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), h. 50

[13] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), h. 53

[14] Oemar Hamalik, Op.Cit, h. 5

[15] Burha Nurgianto, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra, (Yogyakarta : BPPE-Yogyakarta), h. 22

[16] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 88

[17] Muhammad Uzer Ustman, Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar,(Bandung : Remaja Rosdakarya, 199), h.3

[18] Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rieneka Cipta, 1996), h. 121

[19] Nana Syaodiah Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 162

[20] Depag RI, Standar Kompetensi Kurikulum, (Jakarta : Depdiknas, 2004), h. 64

[21] Azumadi Azra, Pendidikan Islam, (Ciputat : Kalimah, 2001), h. 117

[22] Permeg RI, Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam, (Surabaya : Depag RI), h. 77